PPKS Unit Bogor

Pentingnya eksplorasi sumber-sumber batubara muda (Low-rank coals) sebagai bahan baku pupuk humat

Dewasa ini, isu penurunan produktivitas lahan pertanian karena penggunaan pupuk kimia yang berlebihan terus diangkat oleh publik. Pasalnya hal ini berdampak pada ancaman keberlangsungan swasembada pangan Nasional. Selain itu, penggunaan pupuk kimia dengan dosis tinggi membutuhkan biaya produksi yang tinggi pula, sementara efisiensi penyerapan pupuk oleh tanaman cukup rendah. Hal ini sangat merugikan bagi petani. Salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi pemupukan sekaligus mengembalikan kesuburan tanah yaitu dengan penggunaan asam humat yang aplikasinya dapat di-coating ke pupuk kimia. Asam humat dapat diekstrak dari berbagai sumber bahan organik antara lain batubara low-rank, tanah gambut, kompos, tanah hutan, podsolik, sedimen laut dan air rawa [17]. Asam humat tidak berperan sebagai pengganti pupuk dasar melainkan untuk meningkatkan efisiensi pemupukan, sehingga mampu mengurangi kebutuhan pupuk kimia (urea dan NPK). Hal tersebut karena asam humat dapat mengikat hara mikro dan makro, sehingga keberadaannya di tanah dapat dipertahankan dan lebih mudah terserat oleh akar [14].

Asam humat merupakan kompleks makromolekul aromatik dengan asam amino, gula-gula amino, peptida dan senyawa alifatik yang saling terikat di antara kelompok senyawa aromatik. Uji coba efektivitas pupuk humat telah banyak dilakukan [12] dan kombinasinya dengan ekstrak seaweed menunjukkan performa yang lebih baik dalam meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan [16]. Berdasarkan hasil penelitian terkini [4] dilaporkan bahwa aplikasi pupuk humat yang diperkaya dengan produk samping pabrik urea dan NPK dapat meningkatkan hasil panen kentang 13-37% dan cabai rawit 4-28% dengan sistem tumpangsari. Wahyuni et al. [15] menambahkan bahwa aplikasi pupuk humat dapat meningkatkan hasil panen sawi putih hingga 16% dan kembang kol 31-57%. Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa aplikasi pupuk humat dapat meningkatkan hasil panen seledri [1], cabai [2], padi [9], bawang merah [11] dan jagung [13].

Asam humat merupakan hasil degradasi biologis dan kimiawi dari bahan-bahan organik dalam kurun waktu jutaan tahun. Asam humat sendiri dapat diekstrak dari berbagai sumber bahan organik salah satunya batubara low-rank [17]. Menurut Kementerian ESDM RI tahun 2020, jumlah sumberdaya batubara di Indonesia dari 1407 lokasi mencapai 148,70 miliar ton  yang terdiri dari sumber daya Hipotetik 4,31 miliar ton, Tereka 44,53 miliar ton, Tertunjuk 47,28 miliar ton dan Terukur 52,58 miliar ton. Sementara cadangan batubara tercatat sebesar 39,56 miliar ton [7]. Proses pembentukan batubara memakan waktu hingga puluhan juta tahun, mulai dari proses pembentukan gambut (peat), kemudian menjadi lignite, sub-bituminous, bituminous, hingga antrasite. Penggolongan barubara dibagi menjadi low-rank (lignite dan sub-bituminous) dan high rank (bituminous dan antracite). Batubara dengan kalori rendah atau low-rank tersedia dalam jumlah yang lebih melimpah dibandingkan jenis high rank [10]. Menurut Kementerian ESDM [8], dari total cadangan batubara yang terdapat di Seluruh Indonesia, hampir 85% adalah batubara muda. Menurut Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Banten [5], batubara dapat dikelompokkan ke dalam jenis lignite apabila memiliki nilai kalori kurang dari 8300 BTU/lb (<19,3 Mj/kg), sedangkan batubara bernilai kalori antara 8300-11500 BTU/lb (19,3-26,7 Mj/kg) termasuk sub-bituminous.

Gambar 1:
Kenampakan Fisik Sampel Batubara Low-rank dari Berbagai Daerah di Indonesia.
Keterangan: A = Kalbar CV DPS, B = Kalsel CV DPS, C = Kaltim CV DPS, D = Sumatera CV DPS, E = Kaltim CV MBA, F = Kalsel CV MBA, G = Kalteng CV MBA, H = Palembang, dan I = Jambi [3].

Sejauh ini, batubara low-rank merupakan jenis batubara yang belum banyak dimanfaatkan, khususnya lignite. Indonesia masuk ke dalam 10 negara terbesar dengan ketersediaan batubara low-rank yang melimpah, khususnya di Sumatera dan Kalimantan dengan perkiraan mencapai 63,76 dan 61,18 miliar ton secara berturut-turut. Sementara untuk daerah lain seperti di pulau Jawa, Sulawesi, Maluku dan Papua diperkirakan hanya tersedia kurang dari 500 juta ton [6]. Lubis et al. [10] menyatakan bahwan batubara low-rank sebagai penghasil energi sekunder memiliki nilai jual yang rendah, sehingga diperlukan inovasi untuk meningkatkan nilai jualnya. Batubara low-rank selain mengandung asam humat yang tinggi, juga mengandung berbagai unsur esensial yang berperan penting bagi pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu, dapat diketahui bahwa penggunaan batubara low-rank sebagai bahan baku pupuk humat memiliki potensi ekonomi yang lebih menjanjikan.

Dewasa ini, pemanfaatan batubara low-rank sebagai bahan baku produksi pupuk humat banyak dilakukan, sehingga eksplorasi sumber-sumber batubara low-rank di Sumatera dan Kalimantan sangat penting untuk dilakukan. Selain itu, karakterisasi terhadap batubara dari berbagai sumber tersebut perlu dilakukan untuk mengetahui kesesuaian karakter proksimat dan ultimat sebagai bahan baku pupuk humat. Berdasarkan hasil penelitian Aziz et al. [3], dinyatakan bahwa batubara low-rank yang diperoleh dari Palembang dan Jambi berpotensi sebagai bahan baku produksi pupuk humat skala industri, yaitu dengan kandungan asam humat masing-masing sebesar 21,8% dan 20,35% (cair) serta 36,15% dan 31,85% (padat). Studi eksplorasi dan karakterisasi batubara low-rank dari berbagai daerah penting untuk terus dilakukan mengingat sumber-sumber pertambangan batubara tersebar di Sumatera, Kalimantan, hingga Jawa.

Referensi

[1].     Abou-Sreea AIB, Yassen AAA, & El-Kazzaz A (2017). Effects of Iron (II) Sulfate and Potassium Humic on Growth and Chemical Composition of Coriandrum sativum L. International Journal of Agricultural Research, 12(4), 136-145.

[2].     Avinash SN, Srinivasamurthy CA, & Bhaskar S (2017). Effect of foliar application of humic acid fortified with zinc and boron on growth and yield of capsicum. An Asian Journal of Soil Science, 12(2): 283-289.

[3].     Aziz MA, Hana F, Sri W, Fauziatul F, Sulastri, Insyiyah ML, Siswanto, Priyono (2022). Karakterisasi batubara low-rank asal jambi dan beberapa daerah di indonesia sebagai bahan baku pupuk humat. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara, 18(1): 1-11.

[4].     Aziz MA, Sri W, Fauziatul F, Hana F, Sulastri, Insyiyah ML, Siswanto, Priyono (2021). Optimalisasi fungsi pupuk humat PSUC & PSNC untuk meningkatkan produktivitas tanaman kentang (Solanum tuberosum var. Granola G2) dan cabai rawit (Capsicum frutescens var. Sigantung F2) dengan sistem tumpangsari. Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi II, PPBBI, PT. RPN, Bogor.

[5].     Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Banten (2021). Analisis kelas batubara di wilayah kabupaten lebak dengan menggunakan klasifikasi ASTM. https://desdm.bantenprov.go.id/read/berita/292/ANALISIS-KELAS-BATUBARA-DI-WILAYAH-KABUPATEN-LEBAK-DENGAN-MENGGUNAKAN-KLASIFIKASI-ASTM.html. Diakses pada 28 Desember 2021.

[6].     Kamandanu B (2011). “Indonesian coal mining outlook,” in IEA workshop: Coal market’s outlook. Beijing: IEA, 1–13.

[7].     Kementerian ESDM RI (2021a). “Neraca Sumber Daya Dan Cadangan Batubara Indonesia,” http://psdg.bgl.esdm.go.id/index.php?option=com_content&id=1335:neracadancdanganbatubaraindonesia. Diakses pada 29 Oktober 2021.

[8].     Kementerian ESDM RI (2021b). “Potensi Energi Batubara Tercairkan (Liquified Coal),” https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/potensi-energi-batubara-tercairkan-liquefied-coal. Diakses pada 29 Oktober 2021.

[9].     Kumar D, & Singh AP (2017). Efficacy of Potassium Humic and Chemical Fertilizers on Yield and Nutrient Availability Pattern in Soil at Different Growth Stages of Rice. Communications in Soil Science and Plant Analysis, 48(3), DOI: 10.1080/00103624.2016.1261884.

[10].  Lubis MPD, Hervany DR, & Sastria N (2021). Identifikasi Kandungan Batubara Cair Tipe Lignit Menggunakan Metode Pirolisis Daerah Kecamatan Pasir Balengkong Provinsi Kalimantan Timur. SPECTA Journal of Technology, 5(2): 168-174.

[11].   Moustafa, YMM (2019). Onion Quality and Storage Ability Affected by Potassium Humic and NPK Doses. EC Agricultur, 5(5), 227-235.

[12].  Sarhan TZ (2011). Effect of Humic Acid and Seaweed extracts on growth and yield of potato plant (Solanum tubersum L.) Desiree CV. Mesopotamia. J. of Agric, 39(2), 19 – 27.

[13].   Shui-qin Z, Liang, Y, Wei, L, Zhi-an L, Yan-ting L, Shu-wen H, & Bing-qiang Z (2019). Effects of urea enhanced with different weathered coal-derived humic acid components on maize yield and fate of fertilizer nitrogen. Journal of Integrative Agriculture,18(3), 656–666.

[14].  Smith H (2016). Humic Acid and Seaweed Extracts: A Powerful Combination. http://www.gardenandgreenhouse.net/index.php/past-issues-mainmenu-18/142-2014-garden greenhouse/January-February-2014. Diakses pada 28 Juli 2021.

[15].  Sri W, Aziz MA, Fauziatul F, Hana F, Sulastri, Insyiyah ML, Siswanto, Priyono (2021). Peningkatan hasil panen tanaman sawi putih dan kembang kol menggunakan asam humat berbasis PSUC dan PSNC. Prosiding Seminar Nasional Virtual, Fakultas Pertanian, UNIB, Bengkulu.

[16].  Zhang X, & Ervin EH (2004). Cytokinin‐containing seaweed and humic acid extracts associated with creeping bentgrass leaf cytokinins and drought resistance. Crop Science, 44(5), 1737–1745. DOI: 10.2135/cropsci2004.1737. [17].       Zhou L, Yuan L, Zhao B, Li Y, & Lin Z (2019). Structural characteristics of humic acids derived from Chinese weathered coal under different oxidizing conditions. PLOS ONE, 14(5), DOI: 10.1371/journal.pone.0217469.