PPKS Unit Bogor

Fitoremediasi sebagai alternatif pemulihan lahan pasca tambang

Permasalahan tambang nasional dan internasional saat ini menjadi sorotan banyak media. Di Indonesia, pertambangan berskala kecil terus bertambah dalam satu dekade terakhir. Bersamaan dengan itu, eksploitasi besar-besaran terhadap batubara secara ekologis sangat memprihatinkan karena menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup sehingga menghambat terselenggaranya sustainable eco-development. Kekayaan sumberdaya bahan tambang di Indonesia yang cukup besar dapat menimbulkan resiko negatif terhadap lingkungan apabila tidak dilakukan upaya perbaikan lingkungan yang memadai dan optimal dapat menimbulkan resiko terhadap lingkungan.

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki bahan tambang yang besar dan merupakan salah satu sumber pendapatan yang penting bagi negara. Saat ini, pertambangan merupakan salah satu usaha yang menjadi isu kontroversial karena di satu sisi sebagai sumber devisa untuk pembangunan nasional dan daerah, juga memberi keuntungan bagi pengusaha dan masyarakat. Namun di sisi lain, pertambangan juga memberikan dampak negatif. Menurut Rusdiana et al. [1] dampak negatif dari kegiatan pertambangan adalah penurunan kondisi tanah bekas penambangan (tailing) karena berubahnya profil lapisan tanah, terjadi pemadatan, kekurangan unsur hara, pH rendah, penurunan populasi mikroba dan pencemaran oleh logam-logam berat.

Salah satu tantangan besar dunia saat ini adalah mengintegrasikan aspek ekonomi dengan kesadaran atau integritas terhadap lingkungan dan kepedulian sosial. Tujuan dari integrasi ini dapat diwujudkan dalam bentuk pembangunan berkelanjutan. Sektor pertambangan merupakan salah satu permasalahan yang sangat terkait dengan isu pembangunan berkelanjutan. Hampir semua penduduk dunia bergantung terhadap produksi mineral sebagai sumber ekonomi dalam konteks konsumen dan produsen. Pengembangan sektor mineral dapat mendorong atau mengakselerasi banyak peluang seperti penyediaan lapangan kerja, transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengembangan infrastruktur dan pelayanan lokal. Industri pertambangan telah mendorong tingkat kesejahteraan baik langsung maupun tidak langsung, namun diduga terdapat ketidakselarasan yang mendorong terjadinya masalah. Kegiatan operasional pertambangan pada suatu areal dapat menimbulkan efek merusak terhadap topografi tanah dan keanekaragaman hayati.

Indonesia memiliki sumberdaya mineral dan batubara dengan jumlah relatif besar dan tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Dengan begitu industri pertambangan masih akan menjadi salah satu sumber penerimaan negara dan pendorong tumbuhnya berbagai dampak penggandaan (multiplier effect). Namun, potensi kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan tidak dapat dinisbikan begitu saja. Degradasi lingkungan tentu tak dapat dihindari dalam hal ini dan yang dapat dilakukan adalah bagaimana mengendalikan degradasi lingkungan tersebut agar tetap dalam batas-batas yang dapat diterima.

Pencemaran tanah pada lahan pasca tambang umumnya merujuk kepada akumulasi berbagai logam berat dan senyawa lain yang terkait. Pencemaran tanah ini kemudian dapat menyebabkan perubahan keanekaragaman dan jumlah populasi mikroba dalam tanah. Hal yang kritis ini terjadi karena peran mikroorganisme tanah terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman [2]. Kontaminan dalam tanah ini dapat mempengaruhi fisiologi tanaman. Hal ini terjadi karena kontaminan tersebut dapat menyebabkan perubahan pada aspek fisika dan kimia dalam tanah dan dapat mengakibatkan gangguan pada sel membran dan mekanisme fotosintesis [3].

Upaya mengatasi tanah pasca tambang yang tercemar sangat sulit dilakukan karena baik polutan dan mineral tanah terdapat muatan elektrik rendah yang saling berikatan satu sama lain. Logam berat tidak dapat secara kimiawi terdegradasi dan membutuhkan upaya pemindahan secara fisik atau diimobilisasikan. Umumnya, upaya remediasi lahan pasca tambang terkontaminasi logam berat dilakukan secara manajemen in-situ atau ekskavasi atau dipindahkan ke areal khusus pembuangan (penumpukan) tanah. Teknik pencucian tanah untuk penghilangan kontaminasi sebagai alternatif ekskavasi umumnya sangat tidak ekonomis dan justru dapat menghasilkan residu logam-berat tinggi dan membutuhkan perlakuan selanjutnya. Beberapa metode lain yang dapat diterapkan namun bersifat padat kerja dan membutuhkan biaya cukup tinggi adalah vitrifikasi, pencucian, ekstraksi-elektrokinetik, termal desorpsi, proses kimiawi dan sebagainya [4]. Untuk manajemen lahan yang baik, pendekatan penggunaan agen hayati dinilai sangat penting karena ramah lingkungan dan lebih ekonomis.

Fitoremediasi merupakan teknik rehabilitasi dengan menggunakan tumbuhan untuk mengekstrak dan merombak bahan pencemar yang ada dalam dan/ permukaan tanah. Konsepsi Fitoremediasi merupakan pencucian polutan (penghancuran, inaktivasi atau imobilisasi polutan ke bentuk yang tidak berbahaya) yang dimediasi oleh tumbuhan, termasuk pohon, rumput-rumputan, dan tumbuhan air. Fitoremediasi merupakan metode yang sangat sederhana, relatif murah, efektif dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Berbagai jenis tanaman telah diketahui memiliki potensi sebagai fitoremediator karena kemampuannya dalam menyerap kontaminan [5]. Banyak pendekatan yang sudah diterapkan terkait fitoremediasi yang terdiri dari fitoremediasi, fitodegradation direct, rhizofiltrasi, dan kolam rawa buatan yang memiliki sistem seperti lagoon, teknik yang melibatkan interaksi mikroorganisme dalam proses rhizoremediassi, atau penggembangan varietas tanaman spesifik yang ditunjukkan untuk fitoremediasi, hingga menggunakan teknik genetika [6].

Fitostabilisasi merupakan metode untuk mengurangi mobilitas dan ketersediaan polutan, dan dapat menstabilisasi permukaan tanah dengan menutupi lahan terkontaminasi dengan tanaman yang sudah diadaptasikan, mengurangi resiko transportasi polutan pada fase padat. Fitoekstaksi merupakan metode yang didasarkan pada kemampuan tanaman untuk menyerap senyawa berbahaya dari dalam tanah, mentranslokasikan, dan mengkonsetrasikan dengan beberapa substansi biokimia tanaman tertentu. Hasil fitoekstraksi ini umumnya terkonsentrasi pada bagian tanaman yang dapat dipanen. Rhizofiltrasi merupakan teknik yang menggunakan perakaran tanaman untuk menyerap dan mengendapkan polutan, khususnya material logam pada larutan tanah yang berada disekitar perakaran. Fitodegradasi atau fitotransformasi merupakan teknik untuk mengkonversi atau memecah polutan organik oleh tanaman menggunakan proses metabolisme dalam tanaman, atau mengubah kontaminan eksternal menjadi bentuk yang lebih sederhana melalui enzim yang dihasilkan tanaman. Fitovolatilisasi merupakan teknik pengambilan dan transportasi beberapa polutan kedalam bentuk gas oleh tanaman. Teknik ini memiliki konsep transpirasi kontaminan oleh tanaman dan melepaskan kontaminan tersebut dalam bentuk lain ke atmosfer [8].

Dalam fitoekstraksi, beberapa tanaman yang umum digunakan adalah P. vittata untuk mengakumulasikan arsenik. Bunga matahari (H. annus) secara efektif meremediasi limbah radionuklida dan beberapa logam berat. Famili Asteraceae, Brassicaceae, Caryophyllaceae, Cyperaceae, Acanthaceae, Fabacae, Lamiaceae, Poaceae, Violaceae dan Euphorbiaceae juga sudah teridentifikasi memiliki kemampuan hiperakumulator logam berat pada tanah. Faktor utama peran tanaman dalam mendekontaminasi tanah adalah melalui produksi biomassa, sistem perakaran yang masif, laju pertumbuhan tanaman tinggi, kemampuan hidup dalam tanah yang miskin unsur hara dan tahan terhadap logam berat [9].

Dalam fitostabilisasi, beberapa tanaman sorgum yang memiliki perakaran serabut dan famili rerumputan lain mampu meremediasi tanah terkontaminasi logam berat. Agrostis tenuis dan Festuca rubra dapat mengatasi permasalahan tanah tercemar timbal, seng, dan tembaga. Kunci utama dalam teknik ini adalah besarnya luar permukaan perakaran dan penetrasi perakaran kedalam tanah secara intensif dapat mengurangi pencucian logam kedalam tanah. Tanaman Eichhornia crassipes, Lemna minor, dan Hydrocotyle umbellata merupakan tanaman yang umum digunakan dalam pendekatan rhizofiltrasi. Perakarana tanaman bunga matahari juga dapat secara efektif membersihkan elemen toksik Cu, Cd, Cr, Ni, Pb, Zn dan Fe dari dalam tanah [10]. Mekanisme kunci utama dalam rhizofiltrasi adalah sejumlah senyawa spesifik kimia yang dihasilkan perakaran tanaman akan menciptakan kondisi biogeokimia yang secara langsung mempresipitasi kontaminan didalam perakaran [11].

Fitovolatilisasi melibatkan proses transpirasi dalam tanaman dilanjutkan dengan pelepasan ke atmosfer. Air yang dalam jaringan tanaman yang diserap melalui perakaran di transportasikankebagian atas tanaman dan dievaporasikan melalui pori-pori daun. Tanaman yang umum digunakan dalam pendekatan ini Nicotiana tabacum, Crinum americanum, Triticum aestivum, Arabidopsis thaliana, Bacopa monnieri dan Trifolium repens [12]. Kontaminasi logam berat dan Arsenik (As) pada lahan akibat aktivitas pertambangan dapat direduksi dengan menggunakan teknik fitoremediasi. Pteris vittata dan Pityrogramma Calomelanos sesuai untuk mengatasi kontaminasi akibat timbal (Pb) dan seng (Zinc). Kedua spesies tanaman tersebut juga dapat mengakumulasi As pada perakaran dan umbinya. Sementara Eleusine indica dapat menyerap konsentrasi Pb dan Zn yang cukup tinggi [13].

Permasalahan air asam tambang sebagai akibat dari aktivitas pertambangan batu bara dapat diperbaiki dengan pemanfaatan tanaman air Eichornia sp. dan Lepironia sp. dalam sistem rawa buatan (constructed wetlands) secara aerobik dan anaerobik dengan kombinasi kapur anoksik. Teknik ini dapat menaikkan pH air asam tambang dari 2.8 menjadi 7, menurunkan tingkat turbiditas dan kekeruhan, reduksi sulfat sebesar 67-90%, Fe sebesar 100% dan penyisihan Al hingga 97%. Tanaman air ini mempunyai sistem perakaran serabut dan mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi sehingga akumulasi biomassanya juga semakin besar. Tanaman ini juga mampu mengakumulasi unsur-unsur seperti Ag, Pb, Cd serta efisien untuk fitoremediasi air yang terkontaminasi oleh Cd, Cr, Cu dan Se [14].

Terkait dengan lahan bekas tambang yang terkontaminasi minyak bumi (TPH: Total Petroleum Hydrocarbon) pendekatan fitoremediasi dapat dilakukan. Ketika tumpahan atau limbah TPH ini terjadi di tanah, maka akan mempengaruhi aspek fisik dan kimia akibat interaksi dengan tanah. Resiko tumpahan ini adalah infiltrasi TPH yang memasuki ruang pori tanah hingga menuju zona jenuh air. Meskipun demikian, sebagian tumpahan minyak yang berada diatas permukaan tanah ini akan tervolatilisasi. Ketika tumpahan ini terjadi di perairan, fraksi TPH akan mengapung dipermukaan air dan membentuk lapisan permukaan [15]. Tanaman seperti alfalfa (Medicago sativa var. Harpe), ryegrass (Lolium multiflorum L.), birdsfoot trefoil (Lotus corniculatus var. Leo), sorghum (Sorghum bicolor L.), maize (Zea mays L.), Bermuda grass (Cynodondactylon L.), legumes dan beggar ticks (Bidens cernua L.) memiliki kemampuan beradaptasi tinggi untuk menghilangkan TPH dari tanah. Tanaman ini dapat mentransportasikan TPH kedalam perakaran dan jaringan tanaman lainnya. Distribusi TPH ini dapat disekuestrasikan pada jaringan akar, sebagian ditransportasikan pada tunas dan daun kemudian disimpan dalam vakuola atau divolatilisasi kesekitarnya. Selain itu, tanaman tersebut memiliki kemampuan toleransi cukup besar terhadap konsentrasi tinggi TPH, sistem perakaran serabut yang besar, luasnya area permukaan akar dan kemampuan akar dalam menjelajah atau penetrasi kedalam tanah. Perakaran tersebut juga dapat mendorong populasi mikroba tanah dan aktivitasnya melalui pelepasan bahan organik seperti asam amino, gula enzim, asam organik dan karbohidrat yang keseluruhan merupakan eksudat akar [16] .

Kegiatan penambangan emas juga seringkali menimbulkan permasalahan serius. Amalgamasi merkuri (Hg) merupakan metode tradisional yang digunakan oleh penambang lokal untuk mendapatkan emas. Dalam setiap gram emas yang dihasilkan, terdapat sekitar 1-3 gram merkuri yang terlepas ke lingkungan dari proses amalgamasi konsentrat, dimana sebagian terlepas di udara dan sebagian lagi terlepas ke perairan bersama dengan lumpur hasil pencucian. Hasil penelitian Hidayati et al. [17] menunjukkan bahwa ada beberapa spesies tanaman di lokasi penambangan emas skala kecil di Jawa Barat yang mampu mengakumulasi sampai dengan 20 ppm Hg, diantaranya Cyperus kyllingia Endl. Cyperus kyllingia dapat digunakan untuk fitoremediasi tanah tercemar merkuri limbah tambang emas rakyat karena mampu menyerap merkuri sebesar 122.53 mg/kg (tajuk) dan 77.9 mg/kg (akar). Berdasarkan konsentrasi Hg dalam tajuk dan akar, Cyperus kyllingia berpotensi sebagai tumbuhan fitostabilisatior. Penambahan penambahan ligan amonium thiosulfat dengan dosis 8 g/kg media meningkatkan serapan total Hg pada tanaman Cyperus kyllingia sebesar 71.18% [18].

Pada pertambangan tembaga, tailing yang dihasilkan apabila tidak dikelola dengan baik justru menimbulkan masalah. Domingo dan David [19] mengemukakan bahwa dua spesies legum yakni Calopogonium mucunoides dan Centrosema molle dapat diaplikasikan pada tailing tembaga. Selain itu, Yang et al. [20] menambahkan bahwa Imperata cylindrica dapat menekan proses oksidasi mineral sulfida yang terdapat pada tailing dengan mengurangi mikrob pengoksidasi Fe- dan S. Kedua spesies leguminosa menunjukkan pertumbuhan yang baik dan memiliki kemampuan untuk secara signifikan mengurangi konsentrasi logam berat dalam tailing tambang dan menunjukkan kemungkinan hiperakumulasi logam. Selain itu, pembentukan mineral tanah liat setelah revegetasi menunjukkan pemecahan mineral primer menjadi substrat mirip tanah yang didominasi oleh tanah liat dan bahan organik.

Peningkatan kualitas dan kesehatan tanah pada lahan pasca tambang dapat diperbaiki melalui upaya fitoremediasi. Fitoremediasi merupakan proses yang melibatkan proses biologis kompleks dalam waktu yang tidak singkat. Tidak ada satu metode pengukuran efisiensi proses fitoremediasi secara tunggal dan banyak aspek lain yang perlu dipertimbangkan secara terpisah. Efisiensi berkaitan erat dengan hasil akhir dari suatu proses dalam mekanisme fitoremediasi. Salah satu pendekatan utama efisiensi sebagai contohnya adalah laju degradasi bahan organik, stabilisasi, ekstraksi, maupun volatilisasi dari logam-logam kontaminan. Dalam contoh kontaminasi yang disebabkan oleh senyawa organokimia, proses degradasi dan metabolit harus dipertimbangkan bahwa hasilnya tentu akan lebih kompleks dibandingkan senyawa kimia. Terdapat suatu konsensus yang mendefinisikan dan diterima secara internasional bahwa petunjuk utama sebagai parameter untuk monitoring dan metode serta perangkat analitik sangat dibutuhkan. Upaya perbandingan hasil-hasil riset terkait dengan fitoremediasi dan pendekatan efisiensinya juga merupakan suatu urgensi. Model yang teruji dan diterima tentu sangat diperlukan untuk perbaikan lingkungan terestrial pasca tambang maupun lingkungan perairan yang terkontaminasi.

Melalui upaya fitoremediasi, perbaikan dan peningkatan kualitas dan kesehatan tanah dapat diakselerasi. Aspek penunjang lain seperti status hara tanah pasca fitoremediasi juga harus dicermati secara baik agar dapat dianalisis rekomendasi pemupukan atau pemberian sejumlah amelioran ataupun bahan organik sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan lahan. Pendekatan perbaikan lahan melalui tanaman ini merupakan konsep yang ramah lingkungan karena berbasis sumberdaya hayati terbaharukan. Tidak menutup kemungkinan dimasa depan, lahan pasca tambang yang semula terdegradasi dan terkontaminasi justru dapat menjadi sumberdaya lahan terbaharukan untuk pertanian, dimana semua material logam toksik sudah berada pada batas ambang yang aman untuk flora, fauna dan manusia.

 

Referensi

1. Rusdiana OY, Fakuara,. Kusmana C, Hidayat Y. 2000. Respon pertumbuhan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) terhadap kepadatan dan kandungan air tanah podsolik merah kuning. Manajemen Hutan Tropika. 6(2): 43-53.

2. Alori E, Fawole O. 2012. Phytoremediation of soils contaminated with aluminium and manganese by two arbuscular mycorrhizal fungi. J Agric Sci. 4: 246-252.

3. Kabata PA. 2011. Trace elements in soils and plants, 4th ed. CRC, LLC, Boca Raton, FL.

4. Haque N, Peralta-Videa JR, Jones GL, Gill TE, Gardea-Torresdey JL. 2008. Screening the phytoremediation potential of desert broom (Baccharis sarothroides Gray) growing on mine tailings in Arizona, USA. Environ Pollut. 153: 362-368.

5. Chaney RL. 1995. Potential use of metal hyperaccumulators. Mining Environ Manag. 3: 9-11.

6. Marques APGC, Rangel AOSS, Castro PML. 2009. Remediation of heavy metal contaminated soils: phytoremediation as a potentially promising clean-up technology. Crit Rev Environ Sci Technol. 39: 622-654.

7. USEPA. 2000. Introduction to Phytoremediation. United States Environmental Protection Agency, Office of Research and Development, Cincinnati.

8. Cutcheon SC, Schnoor JL. 2003. Phytoremediation: Transformation and Control of Contaminants. Wiley, Hoboken.

9. Erakhrumen, Agbontalor A. 2007. Review phytoremediation: an environmentally sound technology for pollution prevention, control and remediation in developing countries. Educ Res Rev. 2(7): 151-156.

10. Rawat K, Fulekar MH, Pathak B. 2012. Rhizofiltration: a green technology for remediation of heavy metals. Int J Innov in Biosci. 2(4): 193-199.

11. Rajiv KS, Dalsukh V, Shanu S, Shweta S, Sunil H. 2009. Bioremediation of Contaminated Sites: a Low-Cost Nature’s Biotechnology for Environmental Clean Up by Versatile Microbes, Plants & Earthworms. Nova Science. New York.

12. Liu P, Qiu GL, Shang LH. 2007. Phytoremediation of mercury contaminated soil: a review. Chinese J Ecol. 6: 27-32.

13. Denton B. 2007. Advances in phytoremediation of heavy metals using plant growth promoting bacteria and fungi. Basic Biotechnol. 3: 1-5.

14. Puspanti A. 2013. Kajian Fitoremediasi sebagai Salah Satu Pendukung Kegiatan Pengelolaan Lahan Pasca Penambangan Batubara. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian “Reklamasi Lahan Pasca Tambang: Aspek Kebijakan, Konservasi dan Teknologi” 27 November 2013.

15. Yousaf S, Ripka K, Reichenauer T, Andria V, Afzal M, Sessitsch A. 2010. Hydrocarbon degradation and plant colonization by selected bacterial strains isolated from Italian ryegrass and birdsfoot trefoil. J Appl Microbiol. 109: 1389-1401.

16. Hall J, Soole K, Bentham R. 2011. Hydrocarbon phytoremediation in the family Fabacea – a review. Int J Phytoremediat. 13: 317- 332.

17. Hidayati N, Juhaeti T, Syarif F. 2009. Mercury and cyanide contaminations in gold mine environment and possible solution of cleaning up by using phytoextraction. Hayati J Biosci. 16: 88-94.

18. Sugiono CM, Yulia N, Eko H. 2014. Potensi Cyperus kyllingia Endl. untuk fitoremediasi tanah tercemar merkuri limbah tambang emas. Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan. 1(1): 1-8.

19. Domingo JPT, David CPC. 2014. Geochemical characterization of copper tailings after legume revegetation. Sci. Diliman. 26(1): 1-6.

20. Yang D, Zeng DH, Zhang  J, Li LJ, Mau R. 2012. Chemical and microbial properties in contaminated soils around a magnesite mine in northeast China. Land Degrad. Dev. 23: 256-262.

 

 

 


unduh file pdf

Facebook Twitter