Data Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2016 menunjukkan produktivitas CPO nasional rata-rata 3,6 ton/ha/tahun. Padahal potensi genetiknya bisa 12 ton/ha/tahun. Dengan kendala dan perlakukan di lapang bisa 8,4 ton/ha/tahun. Pada sisi lain saat ini kalau peningkatan produksi berbasis pada ekspansi lahan maka CPO Indonesia di pasar internasional akan rawan ditekan.
“Karena itu kami dari Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia yang berada di bawah PT Riset Perkebunan Nusantara berusaha mencari cara meningkatkan produksi CPO tanpa ekspansi. Dengan ilmu dasar biologi molekuler yang kami miliki yang yang kami pelajari di tiga negara berbeda akhirnya bisa dibuat biostimulan untuk meningkatkan produksi CPO, “ kata Priyono, Direktur Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia.
Biostimulan inventornya adalah Dr Djoko Santoso , doktor jebolan Amerika, Dr.Ir. Priyono S3 dari Perancis dan Dr. Asmini Budiani yang doktor dari IPB dan post doktornya di Belanda. Dalam distribusinya nanti, biostimulan yang diberi Palmarin, bekerjasama dengan PT Palmarin Agro Indonesia.
Palmarin merupakan senyawa perangsang pertumbuhan dan perkembangan dan pengendali sintesa minyak di kelapa sawit. Biostimulan ini diperkaya dengan aktivator enzim kunci dalam biosintesa minyak sehingga berjalan lebih bagus.
Biostimulan inventornya adalah Dr Djoko Santoso , doktor jebolan Amerika, Dr.Ir. Priyono S3 dari Perancis dan Dr. Asmini Budiani yang doktor dari IPB dan post doktornya di Belanda. Dalam distribusinya nanti, biostimulan yang diberi Palmarin, bekerjasama dengan PT Palmarin Agro Indonesia.
Keuntungan penggunaan Palmarin adalah memperbaiki pertumbuhan dan metabolisme, fotosintesis lebih bagus, asimilat dihasilkan lebih banyak kemudian diatur translokasinya dibawa kemana saja dan mencegah aborsi bunga dan janjang. Di kebun sering setelah antesis bunganya berkurang/rontok, dengan penggunaan Palmarin membantu tingkatkan bobot janjang rata-rata dan rendemen minyak. Produksi CPO bisa meningkat sampai 2 ton/ha/tahun atau rata-rata bisa 30% sehingga keuntungan bisa bertambah Rp10 juta/ha/tahun.
Hasil demplot dalam skala 250 ha menunjukkan roduktivitas TBS juga ikut meningkat. Di sebuah kebun BUMN Sumatera produksi TBS naik 5,439 ton/ha, sedang BUMN lain di Sumut naik 7.829 ton/ha dan sebuah perusahaan swasta asing di Kalteng naik 13,32 ton /ha. Rendemen di BUMN Sumatera naik 2,041 ton/ha, BUMN Sumut 1,967 ton/ha dan Swasta asing naik 2,806 ton/ha.
“Produksi CPO di BUMN Sumatera mencapai 8,836 ton/ha artinya sudah lebih tinggi dari potensi lapang; BUMN Sumut 6,184 ton atau mendekati potensi lapang sedang , swasta asing 11,956 ton sudah mendekati potensi genetiknya,” kata Priyono.
Perhitungan secara tekno ekonomi, penggunaan Palmarin butuh 3 liter/ha dengan harga 1 liter Rp1,1 juta sehingga biayanya Rp3,3 juta. Aplikasi dilakukan oleh 1 orang/ha dengan interval waktu 2 bulan sekali setiap tahun 6 kali. Dengan upah Rp75.000/satu kali aplikasi maka biaya tenaga kerja mencapai Rp450.000. Aplikasi menggunakan power sprayer dengan kebutuhan BBM 1 liter/aplikasi dan harga Rp7.500/liter maka kebutuhannya adalah Rp45.000. Total tambahan biaya/ha/tahun adalah Rp3.795.000.
Di kebun BUMN Sumatera dengan asumsi harga CPO Rp7.500/kg,dengan dikurangi tambahan biaya untuk aplikasi tadi masih ada tambahan keuntunngan Rp11,5 juta/ha dengan B/C ratio 4. Di kebun PTPN Sumut kenaikan keuntungan Rp10,9 juta/ha dengan BC ratio 3,9. Sedang di perusahaan swasta asing Kalteng kenaikan keuntungan mencapai Rp17,2 juta/ha dengan BC ratio 5,5. “Dengan BC ratio sebesar itu maka penggunaan Palmarin ini jauh sangat menguntungkan,” katanya.
Sumber : perkebunannews.com