Etanol atau bioetanol adalah salah satu biofuel penting saat ini. Teknologi produksi etanol sudah ada sejak jaman dahulu kala. Teknologi ini terus berkembang dan berevolusi sejalan dengan perkembangan jaman. Produksi bioetanol dimulai dari fermentasi sederhana bahan-bahan yang mengandung gula, hingga proses produksi dari bahan-bahan berkayu. Teknologi produksi bioetanol dari bahan berkayu (lignoselulosa) sedang dalam proses pengembangan. Teknologi ini diperkirakan akan menjadi salah satu teknologi unggulan untuk menyediakan energi terbarukan (biofuel) masa depan.
Etanol mungkin salah satu senyawa kimia yang paling menonjol dan paling banyak digunakan saat ini. Etanol terdapat dalam minuman beralkohol yang bisa memabukkan. Namun, etanol juga memiliki beragam manfaat untuk kehidupan manusia, seperti untuk antiseptik dan pelarut berbagai macam produk. Menipisnya cadangan minyak bumi membuka peluang pemanfaatan etanol sebagai bahan bakar alternatif pengganti bensin.
Penggunaan etanol sebagai bahan bakar sebenarnya sudah dimulai sejak awal ditemukannya mobil. Penggunaan etanol sebagai bahan bakar kendaraan pertama kali pada tahun 1828 dan 1876, ketika Nicolous Otto menemukan mesin pembakaran internal pertama kali (Gustafson, 2013). Pamor etanol sebagai bahan bakar meredup ketika terjadi ‘booming’ minyak bumi yang menyediakan bahan bakar dengan harga murah. Kemudian etanol dipergunakan untuk meningkatkan nilai oktan bensin pada tahun 1820an dan 1830an. Jadi ide pemanfaatan etanol sebagai bahan bakar bukanlah ide baru.
Bumi terus berputar dan kondisi pun kembali berbalik. Etanol saat ini merupakan salah satu sumber bahan bakar alternatif terbarukan untuk mengantikan bensin. Bahan baku pembuatan etanol tidak bisa lagi mengandalkan gula atau pati, karena berkompetisi dengan pemenuhan pangan/pakan dunia. Pencarian bahan baku pembuatan etanol selain gula atau pati menjadi sangat penting. Teknologi pembuatan etanol pun berkembang. Tulisan ini menguraikan secara ringkas perkembangan teknologi pembuatan etanol.
TEKNOLOGI AWAL PEMBUATAN ETANOL (BIR)
Istilah ‘etanol’ (ethanol) diturunkan dari kata ‘ether’ yang merupakan turunan kata dari ‘athein’ yang berarti ‘membakar’ atau ‘bersinar’ (Etymonline.com, October 6th, 2013). Residu etanol ditemukan pada tembikar dari China yang berusia 9000 tahun. Penemuan ini mengindikasikan bahwa orang China pada masa neolitik telah bisa membuat etanol dan mengkonsumsi etanol (alkohol) (Roach, July 18, 2005). Kurang lebih sejak 6000 tahun yang lalu orang Sumeria, orang Babylonia, dan orang Mesir telah memfermentasi gula/nira menjadi minuman yang mengandung alkohol (etanol) dengan kadar rendah. Bahan baku utama pembuatan etanol ini adalah air perasaan buah-buahan, misalnya anggur. Tahapan utamanya hanya satu, yaitu fermentasi gula. Hasil fermentasi langsung digunakan sebagai minuman. Mikroba yang dimanfaatkan untuk fermentasi etanol adalah ragi/yeast (Saccharomyces cereviseae) (Levey, 2004). Tahapan pembuatan etanol pada masa itu secara ringkas dijelaskan pada gambar di bawah ini.
Gambar 1. Tahapan fermentasi nira atau perasan buah-buahan menjadi bir yang mengandung etanol
Minuman beralkohol menyebabkan peminumnya menjadi kecanduan dan menimbulkan rasa tenang dan nyaman. Meskipun kemudian minuman ini dilarang oleh beberapa agama besar dunia, namun minuman ini menyebar ke berbagai belahan dunia. Sejalan dengan perkembangan jaman kemudian muncul keinginan untuk meningkatkan kualitas bir, yaitu meningkatkan kandungan etanolnya. Kandungan etanol di dalam bir ditingkatkan dengan proses distilasi. Distilasi telah dikembangkan oleh orang-orang arab sejak abad ke-8 dan 9. Melalui proses distilasi kandungan etanol dapat ditingkatkan sampai di atas 15%. Teknologi distilasi terus berkembang pesat. Saat ini mesin-mesin distilasi bisa meningkatkan kandungan etanol hingga 95%.
Etanol memiliki karakteristik yang unik, yaitu mudah terbakar dan melarutkan berbagai macam bahan. Etanol juga memiliki sifat disinfektan. Perkembangan keperluan. Etanol diproduksi secara besar-besaran dan dipakai di bermacam-macam industri kimia, pangan/pakan, dan kesehatan/obat-obatan.
Gambar 2. Tahapan distilasi untuk meningkatkan kandungan etanol dalam wine.
ETANOL DARI PATI
Ilmu dan teknologi terus berkembang lagi. Pada tahun 1811, Kirchoff menemukan enzyme dari mikroba yang dapat memecah pati menjadi gula (Gupta, et al., 2003). Enzyme yang bisa memecah pati tersebut disebut dengan amylase. Enzim amilase ditemukan baik pada tumbuhan dan mikroba. Enzime ini telah diproduksi dalam skala industri saat ini.
Pati atau amilum adalah polymer glukosa. Proses pemecahan pati menjadi gula oleh enzime amilase disebut dengan hidrolisis atau sakarifikasi. Hidrolisis pati akan menghasilkan glukosa yang selanjutnya bisa difermentasi oleh yeast menjadi etanol. Ide ini kemudian dipakai untuk memproduksi etanol dari bahan-bahan berpati yang lebih murah didapat daripada gula.
Gambar 3. Pembuatan etanol dari pati dengan tambahan tahap sakarikasi.
Etanol hasil distilasi masih mengandung air. Tahapan distilasi hanya bisa memisahkan air hingga kandungan etanolnya maksimum kurang lebih 95%. Bioetanol yang masih mengandung air belum bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar mesin. Sisa air tersebut bisa merusak dan menyebabkan korosi pada mesin. Satu tahapan lagi diperlukan untuk menghasilkan etanol kering atau fuel grade ethanol, yaitu tahapan dehidrasi. Berbagai penelitian tengah giat dilaksanakan untuk mencari metode dan bahan yang bisa menyerap sisa air dalam bioetanol.
Sampai tahapan ini teknologi pembuatan bioetanol untuk bahan bakar sudah cukup matang. Enzime amilase untuk menghidrolisis pati sudah bisa diproduksi masal dan harganya relatif murah. Demikian pula teknologi fermentasi dan distilasi sudah sangat maju. Teknologi dehidrasi sudah berkembang cukup baik. Beberapa produk untuk memurnikan etanol seperti zeolit active sudah tersedia di pasaran. Tantangan utama dari teknologi pembuatan bioetanol dari pati adalah peningkatkan efisiensi dan pengurangan biaya.
Gambar 4. Tahapan dehidrasi untuk menghilangkan air dalam etanol.
ETANOL DARI SELULOSA
Pati adalah salah satu sumber bahan pakan dan pangan. Kebutuhan pangan dan pakan dunia sangat besar. Artinya, pemanfaatan pati sebagai bahan baku pembuatan bioetanol akan berkompetisi dengan pangan/pakan. Tentunya pemenuhan kebutuhan ‘perut orang’ (pangan/pakan) lebih diutamakan daripada pemenuhan kebutuhan ‘perut mobil’. Pilihan pati sebagai bahan baku utama pembuatan bioetanol bukanlah pilihan yag bijak.
Menipisnya cadangan minyak bumi, harga bahan bakar minya (BBM) yang cenderung meningkat, dan alasan keselamatan lingkungan mendorong pencarian bahan-bahan lain untuk bahan baku pembuatan bioetanol. Salah satu bahan yang paling potensial sebagai bahan baku pembuatan bioetanol adalah biomassa lignoselulosa. Biomassa lignoselulosa terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Selulosa dan hemiselulosa adalah polimer gula yang dapat dipecah/dihidrolisis menghasilkan gula dan selanjutnya difermentasi menjadi bioetanol.
Biomassa lignoselulosa tersedia melimpah. Indonesia yang merupakan Negara agraris memiliki potensi biomassa lignoselulosa yang melimpah, terutama dari limbah agroindustri dan kehutanan. Misalnya saja, tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang merupakan limbah dari industri kelapa sawit. Potensi TKKS sangat lah besar, pada tahun 2011 diperkirakan volume TKKS di Indonesia mencapai 20,7 juta ton (FAOSTAT, 2012). Jika dihitung bioetanol yang bisa dihasilkan dari TKKS mencapai 3.4 juta ton bioetanol. Belum lagi limbah lignoselulosa yang lain seperti: jerami, bagas, sekam, serbuk gergaji, kulit buah kakao, dan lain-lain yang jumlahnya juga sangat melimpah.
Lignoselulosa lebih sulit dihidrolisis daripada pati/amilum. Selulosa dilindungi oleh hemiselulosa dan lignin yang sangat kuat. Biomassa lignoselulosa tidak bisa langsung dihidrolisis dan difermentasi untuk menghasilkan bioetanol. Biomassa lignoselulosa memerlukan satu tambahan tahapan proses lagi yang disebut dengan ‘pretreatment’ (Mosier, et al., 2005). Pretreatment bertujuan untuk memecah pelindung lignin sehingga selulosa dan/atau hemiselulosa lebih mudah dihidrolisis. Tahapan pretreatment merupakan tahapan kunci pemanfaatan biomassa lignoselulosa untuk bahan baku bioetanol. Saat ini sangat intensif dilakukan penelitian di berbagai belahan dunia untuk mendapatkan teknologi pretreatment yang efektif dan efisien untuk biomassa lignoselulosa tertentu.
Gambar 5. Produksi bioethaol dari selulosa komplek, terutama di tahap awal pretreatment.
Teknologi etanol selulosa sedang gencar dikembangkan. Kalau lihat dari evolusi ini, maka bagian yang belum matang adalah dua bagian di depan, yaitu pretreatment dan hidrolisis. Hidrolisis selulosa dengan enzim selulase, sedangkan hidrolisis hemiselulosa dengan hemiselulase. Hasil hidrolisis selulosa adalah glukosa yang merupakan gula dengan 6 atom carbon atau gula C6. Hidrolisis hemiselulosa menghasilkan monomer gula dengan 6 dan 5 atom carbon, misalnya glukosa (C6) dan xylosa (C5). Salah satu tantangan penting dari pengembangan bioetanol dari lignoselulosa adalah teknologi produksi enzim selulase dan hemiselulase untuk mengurangi biaya produksi dan meningkatkan efisiensi kerja enzim.
Fermentasi bioetanol masih mengandalkan yeast, yang hanya bisa memfermentasi gula C6 dan tidak bisa memfermentasi gula C5 menjadi bioetanol. Kelemahan ini membuka tantangan dan peluang baru, yaitu mendapatkan mikroba yang bisa memfermentasi gula C5 menjadi bioetanol. Berbagai penelitian untuk mencari mikroba yang bisa memfermentasi gula C5 juga sedang gencar dilaksanakan. Beberapa peneliti lain mencoba merekayasa yeast atau mikroba yang bisa memfermentasi kedua gula C6 dan C5.
Teknologi akan terus berkembang dan berevolusi. Ketika satu tahapan tercapai, tahapan berikutnya menunggu untuk di raih. Teknologi produksi bioetanol dari lignoselulosa belum benar-benar ‘matang’ dan siap dilakukan dalam skala besar. Teknologi ini akan terus diteliti dan dikembangkan untuk mencukupi kebutuhan energi yang terbarukan dan ramah lingkungan: bioetanol.
Daftar Pustaka:
Etymonline.com (October 6th, 2013) ether (n.). Online Etymology Dictionary. http://www. etymonline.com/index.php?term=ether&allowed_in_frame=0. October 6th, 2013.
FAOSTAT (2012) Food and Agriculture Organization of the United Nations. Food and Agriculture Organization of The United Nation. http://faostat.fao.org/site/567/DesktopDefault.aspx?PageID =567#ancor. Accessed 28 October 2012.
Gupta, R., et al. (2003) Microbial a-amylases: a biotechnological perspective, Process Biochem, 00 (1-18).
Gustafson, C. (2013) History of Ethanol Production and Policy. North Dacota State University.http://www.ag.ndsu.edu/energy/biofuels/energy-briefs/history-of-ethanol-production-and-policy.October 6th, 2013.
Levey, D.J. (2004) The Evolutionary Ecology of Ethanol Production and Alcoholism, Integrative and Comparative Biology, 44, 284-289.
Mosier, N., et al. (2005) Features of promising technologies for pretreatment of lignocellulosic biomass, Bioresour Technol, 96, 673-686.
Roach, J. (July 18, 2005) 9,000-Year-Old Beer Re-Created From Chinese Recipe. National Geographic News.http://news.nationalgeographic.com/news/2005/07/0718_050718_ancientbeer.html.October 6th, 2013.