Sumber: www.sehatfresh.com
Kekurangan mikronutrien merupakan salah satu isu kesehatan yang dialami penduduk dunia, yang juga berkontribusi pada kejadian penyakit global. Fortifikasi makanan atau penambahan mikronutrien pada makanan terutama yang mengalami proses pengolahan panjang diperlukan untuk membantu pemenuhan kebutuhan gizi manusia. Pemenuhan kebutuhan mikronutrien yang meskipun kecil, namun bisa berdampak besar pada kesehatan. Salah satu contoh fortifikasi makanan yaitu fortifikasi mikronutrien Selenium pada jamur tiram coklat yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia.
Lebih dari 2 milyar orang di dunia saat ini menderita kekurangan mikronutrien yang sebagian besar disebabkan defisiensi vitamin dan mineral. Kekurangan mikronutrien ini akan berdampak besar pada wanita hamil dan anak-anak. Pada wanita hamil, vitamin dan mineral diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin. Sedangkan pada anak-anak vitamin dan mineral diperlukan untuk perkembangan kognitif dan daya tahan tubuh. Isu tentang mikronutrien malnutrisi telah perkembang pesat mulai tahun 2000-an. Alasan utamanya adalah kekurangan zat mikronutrien berkontribusi besar pada penyakit global. World Health Report mengidentifikasi kekurangan yodium, zat besi, vitamin A, dan zinc sebagai salah satu faktor resiko penyebab penyakit serius di dunia [1]. Kekurangan mikronutrien juga menyebabkan berbagai gangguan fisiologis non spesifik yang mengarah pada berkurangnya resistensi terhadap infeksi, gangguan metabolisme, dan keterlambatan atau gangguan perkembangan fisik dan psikomotorik. Implikasi yang lebih besarnya akibat kekurangan mikronutrien adalah penyakit seperti HIV/AIDS, malaria, tuberkulosis, dan penyakit kronis lainnya [2].
Fortifikasi umum dilakukan pada pangan. Fortifikasi pangan adalah penambahan zat gizi mikro pada suatu makanan untuk meningkatkan kandungan makanan akan zat gizi tersebut. Fortifikasi pangan umum dilakukan pada minyak goreng, sereal, dan susu [3]. Fortifikasi pangan dilakukan karena pada proses pengolahan makanan kemungkinan menghilangkan sebagian zat-zat mikronutrien yang terkandung dalam makanan tersebut karena proses pemanasan dengan suhu tinggi, penggilingan, pencampuran, dan proses pengemasan. Adanya fortifikasi membuat zat pangan memiliki zat gizi yang lengkap sesuai kebutuhan yang diperlukan oleh tubuh [4]. Kebutuhan mikronutrien mineral dan vitamin berbeda-beda berdasarkan usia. Berdasarkan WHO kebutuhan pada manusia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan mikronutrien vitamin dan mineral berdasarkan rentang usia
Mengingat kebutuhan tubuh akan mikronutrien yang lengkap, maka sudah seharusnya kita lebih peduli dengan kandungan makanan yang akan kita makan. Memenuhi asupan mikronutrien dalam tubuh sangat perlu diperhatikan, mengingat meskipun kecil namun peran mikronutrien ini sangatlah besar dan bisa berdampak besar pada kesehatan. Misalnya saja zat besi, kekurangan zat besi adalah gangguan yang paling umum dan banyak orang yang menderita anemia. Mesipun hal sepele, namun kekurangan zat besi pada tahap yang lebih serius dapat menyebabkan anemia akut [5]. Anemia ditandai dengan badan yang lemas, letih, dan lunglai serta wajah yang pucat. Selain zat besi, mikronutrien lain yang tidak kalah penting adalah vitamin A. Menurut WHO, anak-anak usia 24-71 bulan dan juga wanita hamil sangat beresiko kekurangan vitamin A [6]. Vitamin A sendiri sangat banyak manfaatnya, diantaranya memperkuat kinerja organ-organ tubuh seperti mata, kulit, dan memperkuat sistem kekebalan tubuh. Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan pertumbuhan terganggu dan kurang maksimal, terutama pada anak usia balita dan ibu yang sedang hamil [7].
Begitu banyaknya manfaat dari mikronutrien maka fortifikasi pada makanan sangat diperlukan terutama pada bahan pangan olahan yang telah melalui proses fabrikasi yang panjang, sehingga kandungan gizinya sudah tidak utuh lagi. Pusat penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia saat ini tengah melakukan penelitian fortifikasi mikronutrien selenium pada jamur tiram coklat. Selenium dikenal sebagai zat mikronutrien yang tidak banyak ditemukan di alam. Kekurangan selenium dapat menyebabkan penyakit gangguan motorik, penyakit kardiovaskular, dan penyakit lupus [8]. Jamur dipilih karena termasuk bahan pangan sederhana dan hampir semua masyarakat saat ini sudah familiar dengan jamur. Fortifikasi pada jamur diyakini dapat lebih memperkaya bahan makanan baru yang kaya akan nutrisi dan layak dikonsumsi. Dengan mengetahui manfaat dan pentingnya zat mikronutrien pada makanan, diharapkan kita semua lebih peduli dengan kandungan makanan yang kita makan.
Referensi
- Dary, O., & Hurrell, R. (2006). Guidelines on food fortification with micronutrients. Geneva, Switzerland World Health Organization, Food and Agricultural Organization of the United Nations.
- Black, M. M. (2003). Micronutrient deficiencies and cognitive functioning. The Journal of nutrition, 133(11), 3927S-3931S.
- Achadi, E., Arifah, S., Muslimatun, S., Anggondowati, T., & Setiarini, A. (2010). Efektivitas program fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A terhadap status gizi anak sekolah di Kota Makasar. Kesmas: National Public Health Journal, 4(6), 255-261.
- Valentina, V., Palupi, N. S., & Andarwulan, N. (2014). Asupan Kalsium Dan Vitamin D Pada Anak Indonesia Usia 2–12 Tahun [Calcium and Vitamin D Intake of Indonesian Children 2-12 Years Old]. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, 25(1), 83.
- Camaschella, C. (2015). Iron-deficiency anemia. New England journal of medicine, 372(19), 1832-1843.
- Gur, E. B., Gokduman, A., Turan, G. A., Tatar, S., Hepyilmaz, I., Zengin, E. B & Guclu, S. (2014). Mid-pregnancy vitamin D levels and postpartum depression. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology, 179, 110-116.
- Merryana Adriani, S. K. M., & Kes, M. (2016). Pengantar gizi masyarakat. Prenada Media.
- Widiastuti, Y., Darmono, S. S., & Sofro, M. A. U. (2019). Pengaruh Supplementasi Probiotik Dan Selenium Terhadap Respon Imun Nlr (Neutrophil Lymphocyte Count Ratio), Haemoglobin Dan Albumin Pada Tikus Wistar Yang Diinduksi Mycobakterium Tuberculosis. Journal of Nutrition College, 8(1), 38-48.