Penggunaan tas belanja plastik yang berlebihan di Indonesia telah menjadi perhatian utama dalam beberapa tahun terakhir. Plastik adalah jenis bahan tertinggi ketiga yang ditemukan pada pembuangan sampah perkotaan sebesar 10-15%. Sebagian besar sampah berakhir di TPA dan sangat sedikit yang di daur ulang. Penerapan pajak pada pembelian kantong plastik yang menciptakan biaya tambahan (harga kantong plastik meningkat) akan mendorong masyarakat dengan pilihan untuk membeli, mengurangi atau menggantikannya.
Penggunaan tas belanja plastik yang berlebihan di Indonesia telah menjadi perhatian utama dalam beberapa tahun terakhir. Plastik adalah jenis bahan tertinggi ketiga yang ditemukan pada pembuangan sampah perkotaan sebesar 10-15% [1]. Sebagian besar sampah berakhir di TPA dan sangat sedikit yang di daur ulang. Hal tersebut dikarenakan pabrik daur ulang jumlahnya pun sangat terbatas di Indonesia [2]. Selain itu, sampah tas plastik seringkali berakhir di sungai dan merupakan penyebab banjir karena menyumbat aliran air. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari kesadaran masyarakat umum yang masih rendah terhadap kebersihan lingkungan [1]. Pada akhirnya hal tersebut menimbulkan biaya yang besar kepada masyarakat.
Berbagai metode seperti penggunaan plastik ramah lingkungan (biodegradable) dan kantong kertas (goodie bag) untuk menggantikan kantong plastik telah diterapkan baik dari usaha kecil hingga menengah yang peduli terhadap lingkungan [3]. Meski demikian, usaha tersebut dinilai kurang berhasil dikarenakan minimnya intervensi dari pemerintah. Pedagang kaki lima dan penjual di pasar tradisional merupakan pengguna terbesar dari tas plastik. Kedua tipe pedagang tersebut memberikan tas plastik secara gratis kepada pelanggan mereka dan sebagian besar berasal dari kelas menengah ke bawah [3]. Masyarakat yang berasal dari status ekonomi kecil cenderung memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah sehingga berimbas kepada kesadaran yang juga rendah terhadap lingkugan [4]. Sebuah gerakan yang disebut dengan “Diet Kantong Plastik” telah muncul. Gerakan tersebut bertujuan untuk menggantikan tas plastik dengan goodie bag yang ramah lingkungan dan dapat digunakan berulang kali. Sayangnya, gerakan ini terhalang oleh fakta bahwa sebagian besar pengguna akhirnya adalah masyarakat golongan menengah ke atas [3]. Dengan kata lain, agar berhasil mengurangi penggunaan tas belanja plastik, diperlukan kebijakan yang dapat mengubah perilaku masyarakat dari berbagai golongan, terutama yang dari golongan menengah ke bawah.
Kebijakan yang dapat diusulkan adalah penerapan pajak pada penggunaan tas belanja plastik. Kebijakan ini pertama kali diterapkan di Irlandia dan dapat mengurangi penggunaan tas plastik hingga 90% serta meningkatkan pendapatan pemerintah [5].
Sebagaimana dapat dilihat dari ilustrasi grafik diatas, penerapan pajak (taxes) dapat mengurangi konsumsi kantong plastik (Q1 ke Q2 dimana Q adalah kuantitas). Perhitungan pajak didasarkan pada survey konsumen untuk membayar tas belanja plastik [5].
Tujuan dari kebijakan ini adalah mengubah perilaku konsumen sehingga mengurangi penggunaan kantong plastik. Masyarakat dipaksa berubah karena kantong plastik tersebut tidak lagi gratis serta mengganti penggunaan kantong plastik dengan kantong kertas yang dapat digunakan kembali. Dengan pemahaman sederhana tentang konsep supply-and-demand, bahkan masyarakat menengah ke bawah diharapkan akan berfikir dua kali jika ingin menggunakan kantong plastik.
Pilihan kebijakan serupa yang kemungkinan besar lebih baik adalah skema deposito pengembalian dana (deposit-refund scheme). Alih-alih membayar pajak yang dipungut dari pembelian kantong plastik, konsumen bisa mendapatkan pengembalian dana jika kantong plastik dikumpulkan pada collection centre yang diikuti dengan daur ulang. Skema deposito pengembalian dana tersebut diharapkan memiliki keunggulan pada negara-negara berkembang karena mempromosikan kegiatan padat karya di daerah di mana banyak terdapat pengangguran [6]. Lebih lanjut, konsep tersebut dinilai lebih mudah untuk dipantau karena memiliki karakteristik self-enforcement.
Namun, mengingat kondisi di Indonesia dimana jumlah pabrik daur ulang masih sangat terbatas, skema pengembalian dana deposito sepertinya kurang tepat untuk diterapkan di Indonesia [2]. Beberapa pabrik daur ulang plastik di Indonesia dikelola oleh swasta dengan kapasitas yang tidak mencukupi jika harus digunakan untuk daur ulang seluruh plastik sampah di negeri ini. Pengadaan dan pendirian pabrik daur ulang di setiap TPA di Indonesia merupakan langkah yang mahal. Oleh sebab itu, sepertinya langkah penerapan pajak pada setiap pembelian kantong plastik merupakan langkah yang low-risk karena pembukuan pajak terintegrasi dengan pengembalian pajak pertambahan nilai [5].
Peraturan langsung seperti pelarangan penggunaan kantong plastik di negara-negara berkembang telah dilaksanakan di Bangladesh dan India. Hal tersebut disinyalir telah berandil dalam mengurangi frekuensi banjir di negara-negara tersebut [7]. Namun, peraturan langsung tersebut dikaitkan dengan karakteristik koersif dan cenderung tidak fleksibel [8]. Oleh karena itu, penerapan pajak pada pembelian kantong plastik yang menciptakan biaya tambahan (harga kantong plastik meningkat) akan mendorong masyarakat dengan pilihan untuk membeli, mengurangi atau menggantikannya.
Referensi
1. SAHWAN, F. L. 2011. Sistem Pengelolaan Limbah Plastik di Indonesia. Jurnal Teknologi Lingkungan, 6.
2. ANDINI, B. F. 2015. Kerusakan lingkungan akibat sampah plastik: Kasus pencemaran sungai citarum. Masters Thesis, Airlangga University.
3. NURDIN, E. 2014. Upaya Mengurangi Jutaan Kantong Plastik [Online]. Available: http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2014/01/140118_bisnis_sosial_greeneration [Accessed 11 October 2015].
4. MORGAN, P. L., FARKAS, G., HILLEMEIER, M. M. & MACZUGA, S. 2009. Risk factors for learning-related behavior problems at 24 months of age: Population-based estimates. Journal of abnormal child psychology, 37, 401-413.
5. CONVERY, F., MCDONNELL, S. & FERREIRA, S. 2007. The most popular tax in Europe? Lessons from the Irish plastic bags levy. Environmental and Resource Economics, 38, 1-11.
6. PANAYOTOU, T. 1994. Economic instruments for environmental management and sustainable development, UNEP.
7. RITCH, E., BRENNAN, C. & MACLEOD, C. 2009. Plastic bag politics: modifying consumer behaviour for sustainable development. International Journal of Consumer Studies, 33, 168-174.
8. WALL, L., BLAND, S., CORNWELL, A. & AUSTRALIA. INDUSTRY, C. 1997. Role of economic instruments in managing the environment, Melbourne, Industry Commission.