Pemuliaan tanaman sagu saat ini masih berorientasi pada karakter rendemen pati, kualitas (rasa) pati, ketebalan empulur, dan berduri atau tidak berduri. Sayangnya, informasi keragaman genetik sagu yang reliable dan kuantitatif sukar untuk diperoleh di Indonesia. Teknik DNA barcoding yang telah banyak digunakan dalam biologi konservasi menawarkan percepatan penelitian di bidang genetika sagu. DNA barcoding dapat dimanfaatkan untuk pengembangan basis data sekuen dan DNA dari sampel tanaman sagu yang dapat dimanfaatkan dalam mengkarakterisasi individu-individu spesies sagu di Indonesia.
Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan salah satu sumber pangan dan energi yang sangat potensial dengan potensi produksi mencapai 15-25 ton pati kering/ha/tahun. Tepung atau pati sagu dapat digunakan sebagai bahan baku industri seperti mie, perekat, bioetanol, dan produk turunan lainnya [1]. Indonesia memiliki luas areal pertanaman sagu sebesar 60% dari areal total dunia yang mencapai lebih dari 2 juta ha. Luas areal sagu di Indonesia mencapai 1.528.917 ha yang tersebar di Papua (1.406.469 ha), Maluku (41.949 ha), Sulawesi (45.540 ha), Sumatera (31.872 ha), Kalimantan (2.795 ha), dan Jawa Barat (292 ha) [2].
Meskipun memiliki potensi besar sebagai sumber pangan dan energi, dan telah lama menjadi bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia bagian Timur, namun perhatian Indonesia terhadap tanaman sagu masih sangat rendah. Penelitian terkait dengan budidaya dan pemuliaan tanaman ini jauh tertinggal dibandingkan dengan tanaman pangan maupun perkebunan lain. Dukungan penelitian terhadap tanaman sagu sangat penting karena menurut Stanton (3) tanaman ini memiliki kelebihan, yaitu: dapat diterima secara ekonomi (economically acceptable), berkelanjutan (sustainable), ramah lingkungan (environmentally friendly), serbaguna (uniquely versatile), kokoh (vigorous), dan meningkatkan sistem agroforestri yang stabil secara sosial (promotes socially stable agroforestry systems).
Dalam rangka merancang program pemuliaan tanaman sagu yang baik dan berkelanjutan, informasi keragaman genetik yang reliable dan kuantitatif sukar untuk diperoleh di Indonesia. Padahal informasi tersebut penting karena mampu membedakan keunggulan dan kekurangan dari masing-masing genotip yang akan disilangkan. Di sisi lain, jika pemuliaan tanaman dilakukan secara konvensional ditambah sifat tanaman sagu sebagai tanaman berkayu (perennial species) maka validasi hasil persilangan tersebut memerlukan waktu yang lama (10-20 tahun).
Selama tiga dasawarsa terakhir, teknik biologi molekuler telah berkembang pesat. Dua perkembangan yang memberikan kemajuan pada biologi konservasi adalah penemuan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dan penanda molekuler [6]. Sejak ditemukan di tahun 1985, PCR telah mentransformasi ilmu hayati, termasuk didalamnya biologi konservasi [7]. Hal tersebut dimungkinkan karena analisis jutaan copy DNA dapat dilakukan dengan mudah dan biaya relatif murah dari sejumlah kecil sampel [8]. Teknik PCR memungkinkan studi non destruktif terhadap spesimen hidup dan korelasinya dengan induknya [6].
Hingga saat ini, teknik biologi molekuler baik PCR dan turunannya, telah digunakan dalam biologi konservasi untuk identifikasi individu, spesies, populasi [9, 10]; deteksi zona hibrid dan populasi campur [11-13]; kuantifikasi penyebaran dan aliran gen (gene flow) [14-16]; perkiraan ukuran populasi [17-19]; asesmen keturunan, kedekatan, sistem reproduksi dan organisasi sosial [20, 21]. Sebagian besar dari penelitian tersebut dilakukan menggunakan penanda molekuler berbasis DNA non-nuklear dan nuklear. Hal tersebut menjadikan penanda molekuler sebagai tool yang sangat penting dalam biologi konservasi.
Penanda molekuler atau yang juga dikenal sebagai penanda genetik, dapat sebagian besar dikategorikan berbasis DNA. Penanda molekuler umumnya ditemukan di lokasi spesifik di dalam genom dan digunakan untuk menandai posisi dari gen atau sifat tertentu yang membawa karakteristik khusus [22]. Dalam persilangan genetik, penanda molekuler selalu terkait dengan karakteristik khusus tersebut [23]. Beberapa penanda molekuler yang lazim digunakan dalam biologi konservasi berbasis DNA non-nuklear seperti DNA mitokondria (mtDNA) dan DNA kloroplas (ctDNA) serta berbasis DNA nuklear (nuclear DNA) seperti Internal Transcribed Spacer (ITS), Random Amplification of Polymorphic DNA (RAPD), Amplification Fragment Length Polymorphism (AFLP), Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), Simple Sequence Repeats (SSR), dan Single Nucleotide Polymorphism (SNP) [22, 24, 25].
Dengan perkembangan teknologi terkini, DNA barcoding menyediakan kemudahan dalam melakukan identifikasi dan karakterisasi plasma nutfah tanaman. Berbagai penelitian menunjukkan keberhasilan penerapan DNA barcoding untuk konservasi, seperti di Italia dan Inggris [26-31], tidak terkecuali potensi untuk diaplikasikan di tanaman sagu. Teknik molekuler tersebut feasible untuk dilakukan di Indonesia serta dapat dilakukan dengan biaya yang relatif murah dibanding menggunakan teknologi Next Generation Sequencing (NGS) atau Genotyping by Sequencing (GBS). Dunia internasional sangat terbuka dalam penerapan sistem barcoding dengan membentuk konsorsium barcode bernama “Barcode For Life” (http://www.barcodeoflife.org/). Hal tersebut memiliki makna bahwa teknik DNA barcoding sudah dan akan secara berkelanjutan digunakan dalam memetakan biodiversitas dunia.
Salah satu pemanfaatan DNA barcoding untuk pengembangan basis data sekuen dan DNA dari sampel tanaman sagu yang dapat dimanfaatkan dalam mengkarakterisasi individu-individu spesies sagu di Indonesia. Keberadaan basis data tersebut akan menjadi awal pembentukan bank gen-gen tanaman sagu yang kemudian diakses oleh para peneliti yang bergerak dalam bidang pemuliaan tanaman sagu. Dengan mengetahui karakter varietas sagu secara molekuler, pemulia dapat memilih tetua tanaman sagu untuk mendapatkan karakter yang diinginkan. Namun hingga saat ini, penelitian biologi konversasi modern berbasis DNA barcoding belum menjadi tren di tanaman perkebunan tidak terkecuali sagu. Apakah kini sudah saatnya kita mulai ?
Referensi
1. Flach M. Sago palm. Metroxylon sagu Rottb. IPGRI, editor. Rome, Italy: International Plant Genetic Resources Institute; 1997. 76 p.
2. Kertopermono A, editor Inventory and evaluation of sago palm (Metroxylon spp.) distribution. Sago: The Future Source of Food and Feed Proc 6th Intl Sago Symp Universal Academy Press, Inc; 1996.
3. Stanton WR. Perspective on, and future prospects for, the sago industry. Sago Palm. 1993;1(1):2-7.
4. Budiani A, Putranto RA, Minarsih H, Riyadi I, Sumaryono, Abbas B. Cloning and characterization of promoter region of ADP glucose pyrophosphorylase-encoding gene from Metroxylon sagu with high- and low-starch content. Menara Perkebunan. 2016;84(1):1-12.
5. Budiani A, Putranto RA, Minarsih H, Riyadi I, Sumaryono, Abbas B. Expression and cloning of gene encoding ADP-Glucose Phyrophosphorylase from sago palm (Metroxylon sagu Rottb.). Menara Perkebunan. 2015;83(2):76-85.
6. Geffen E, Luikart G, Waples RS. Impacts of modern molecular genetic techniques on conservation biology. Key topics in conservation biology. 2007:46.
7. Shampo MA, Kyle RA. Kary B. Mullis – Nobel Laureate for Procedure to Replicate DNA. Mayo Clinic Proceedings. 2002;77(7):606.
8. Welsh J, McClelland M. Fingerprinting genomes using PCR with arbitrary primers. Nucleic Acids Research. 1990;18(24):7213-8.
9. Teletchea F. Molecular identification methods of fish species: reassessment and possible applications. Reviews in Fish Biology and Fisheries. 2009;19(3):265.
10. Mayer F, Dietz C, Kiefer A. Molecular species identification boosts bat diversity. Frontiers in Zoology. 2007;4(1):4.
11. Chen X, Liao B, Song J, Pang X, Han J, Chen S. A fast SNP identification and analysis of intraspecific variation in the medicinal Panax species based on DNA barcoding. Gene. 2013;530(1):39-43.
12. Lexer C, Heinze B, Alia R, Rieseberg LH. Hybrid zones as a tool for identifying adaptive genetic variation in outbreeding forest trees: lessons from wild annual sunflowers (Helianthus spp.). Forest Ecology and Management. 2004;197(1–3):49-64.
13. Payseur BA, Rieseberg LH. A genomic perspective on hybridization and speciation. Molecular Ecology. 2016;25(11):2337-60.
14. Souza FL, Cunha AF, Oliveira MA, Pereira GAG, Reis SFd. Estimating dispersal and gene flow in the neotropical freshwater turtle Hydromedusa maximiliani (Chelidae) by combining ecological and genetic methods. Genetics and Molecular Biology. 2002;25:151-5.
15. Ouborg NJ, Piquot Y, Van Groenendael JM. Population genetics, molecular markers and the study of dispersal in plants. Journal of Ecology. 1999;87(4):551-68.
16. Broquet T, Petit EJ. Molecular Estimation of Dispersal for Ecology and Population Genetics. Annual Review of Ecology, Evolution, and Systematics. 2009;40(1):193-216.
17. Wang J. Estimation of effective population sizes from data on genetic markers. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences. 2005;360(1459):1395-409.
18. Bevan E, Wibbels T, Najera BMZ, Sarti L, Martinez FI, Cuevas JM, et al. Estimating the historic size and current status of the Kemp’s ridley sea turtle (Lepidochelys kempii) population. Ecosphere. 2016;7(3):e01244-n/a.
19. Höglund J. Evolutionary conservation genetics: Oxford University Press; 2009.
20. Baxter BD, Mendez-Harclerode FM, Fulhorst CF, Bradley RD. A Molecular Examination of Relatedness, Multiple Paternity, and Cohabitation of the Southern Plains Woodrat (Neotoma micropus). Journal of Mammalogy. 2009;90(4):819-31.
21. Clark RW, Schuett GW, Repp RA, Amarello M, Smith CF, Herrmann H-W. Mating Systems, Reproductive Success, and Sexual Selection in Secretive Species: A Case Study of the Western Diamond-Backed Rattlesnake, Crotalus atrox. PLoS ONE. 2014;9(3):e90616.
22. Priyono, Putranto RA. Molecular markers and their application for DNA fingerprinting and genetic diversity studies in Coffea species. Menara Perkebunan. 2014;82(1):39-50.
23. Grover A, Sharma PC. Development and use of molecular markers: past and present. Critical Reviews in Biotechnology. 2014;36(2):290-302.
24. Moritz C. Applications of mitochondrial DNA analysis in conservation: a critical review. Molecular Ecology. 1994;3(4):401-11.
25. Anne C. Choosing the right molecular genetic markers for studying biodiversity: from molecular evolution to practical aspects. Genetica. 2006;127(1):101-20.
26. Cheng T, Xu C, Lei L, Li C, Zhang Y, Zhou S. Barcoding the kingdom Plantae: new PCR primers for ITS regions of plants with improved universality and specificity. Molecular Ecology Resources. 2016;16(1):138-49.
27. Kress WJ, García-Robledo C, Uriarte M, Erickson DL. DNA barcodes for ecology, evolution, and conservation. Trends in Ecology & Evolution. 2015;30(1):25-35.
28. Shokralla S, Gibson JF, Nikbakht H, Janzen DH, Hallwachs W, Hajibabaei M. Next-generation DNA barcoding: using next-generation sequencing to enhance and accelerate DNA barcode capture from single specimens. Molecular Ecology Resources. 2014;14(5):892-901.
29. LaFlamme B. Molecular barcodes improve RNA-seq. Nat Genet. 2014;46(3):219-.
30. de Vere N, Rich TCG, Ford CR, Trinder SA, Long C, Moore CW, et al. DNA Barcoding the Native Flowering Plants and Conifers of Wales. PLoS ONE. 2012;7(6):e37945.
31. Bruni I, De Mattia F, Martellos S, Galimberti A, Savadori P, Casiraghi M, et al. DNA Barcoding as an Effective Tool in Improving a Digital Plant Identification System: A Case Study for the Area of Mt. Valerio, Trieste (NE Italy). PLoS ONE. 2012;7(9):e43256.