PPKS Unit Bogor

Penguatan penelitian untuk perbaikan genetik karet di Indonesia

Penelitian tanaman karet di Indonesia telah melewati lebih dari beberapa dekade. Koleksi sumber daya genetik yang telah dikoleksi sejak lama, memiliki potensi yang besar untuk mengidentifikasi klon-klon dengan sifat ketahanan terhadap penyakit atau toleransi terhadap cekaman abiotik. Sudah saatnya penelitian genetik karet Indonesia untuk dapat diarahkan dalam pengembangan koleksi inti untuk aplikasi lebih lanjut dari pemuliaan tanaman berbasis genetik serta genomik. Di samping itu, dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim, pengembangan sistem perkebunan multiklonal diperkirakan menjadi solusi yang baik.

Penelitian tanaman karet di Indonesia telah melewati lebih dari beberapa dekade. Ribuan aksesi plasma nutfah Hevea telah dikelola dan dipertahankan di Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet sejak tahun 1981. Lebih dari separuh koleksi tersebut telah digunakan dalam riset dalam rangka menemukan materi genetik dengan produksi lateks yang tinggi. Selain itu, sumber daya genetik tersebut memiliki potensi yang besar untuk mengidentifikasi klon-klon dengan sifat lain seperti ketahanan terhadap penyakit atau toleransi terhadap cekaman abiotik.

Pengembangan koleksi inti (core collection) dapat menyediakan sumber daya genetika untuk analisis asosiasi dalam rangka mengidentifikasi sifat-sifat yang memiliki nilai agronomi dan komersial tinggi. Saat ini, melalui penggunaan penanda molekuler, keragaman alelik dapat digunakan untuk mendesain koleksi inti dari 100 genotip hanya di Brazil [1]. Koleksi tersebut menampung keseluruhan keragaman genetik dan dapat secara mudah dikelola pada area yang kecil dengan biaya pemeliharaan yang tidak terlalu besar.

Ke depan, penelitian genetik karet Indonesia seyogyanya dapat diarahkan untuk mempelajari materi genetik existing dan mengembangkan semacam koleksi inti untuk digunakan lebih lanjut pada pemuliaan tanaman berbasis genetik serta genomik. Koleksi inti ini dapat dilengkapi dengan koleksi klon-klon Wickham yang memiliki kedekatan genetik namun fenotip yang sangat bervariasi. Sifat tersebut dapat dikaitkan dengan variabilitas epigenetik [1]. Sumber daya genetik tersebut dapat menjadi basis molekuler, fisiologi dan studi variabilitas genetik. Rendahnya penggunaan penanda molekuler merupakan faktor yang sangat menentukan dalam sebuah program pemuliaan tanaman yang efisien [2].

Pada tanaman karet, analisis lokus sifat kuantitatif (Quantitative Trait Locus, QTL) dalam populasi biparental adalah pendekatan yang umum dilakukan [3,4]. Dalam kondisi dimana referensi genom (reference genome) tersedia, pendekatan lain dapat dipertimbangkan. Salah satu kasus yang mendapatkan perhatian sebagai isu agronomi utama untuk diatasi adalah penyakit kering alur sadap (KAS) atau juga disebut Tapping Panel Dryness (TPD). Kejadian KAS merupakan salah satu permasalahan utama yang mempengaruhi produksi karet di Indonesia. Mekanisme molekuler yang terlibat pada kejadian KAS telah banyak dipelajari secara intensif dan beberapa gen kandidat telah diidentifikasi [5-7]. Namun, belum dilaporkan informasi terkait variabilitas alelik dari faktor-faktor tersebut dalam kaitannya dengan kejadian KAS.

Toleransi terhadap KAS pertama kali dipertimbangkan sebagai low heritable trait [8] namun pewarisan sifat tersebut telah diamati pada populasi full-sib [9]. Baru-baru ini, studi molekuler menyarankan metodologi pengamatan fenotip spesifik untuk mempelajari pewarisan genetik dari sifat toleransi/sensitif terhadap KAS [6]. Progeni berjumlah besar (>200 individu) hasil persilangan klon toleran dan sensitif mutlak diperlukan untuk mempelajari pewarisan sifat tersebut. Populasi tersegregasi tersebut dapat digunakan dalam pengembangan penanda molekuler spesifik untuk KAS melalui tiga pendekatan: studi variabilitas genetik dari gen-gen kandidat terkait dengan toleransi terhadap KAS melalui teknologi KASPAR, genotyping by sequencing (GBS), atau RNA sequencing. Teknik tersebut mengkombinasikan keunggulan untuk menyediakan penanda molekuler dalam jumlah besar (ribuan) dari setiap transkrip yang terekspresi secara diferensial (differentially expressed transcript). Transkrip-transkrip tersebut membawa variabilitas alelik terkait dengan segregasi untuk toleransi/sensitivitas terhadap KAS serta informasi lengkap tentang regulasi molekuler saat kejadian KAS.

Selama ini, praktik perkebunan monoklonal merupakan sistem eksploitasi tanaman karet yang produktif. Namun demikian, pengembangan sistem perkebunan monoklonal diperkirakan bukan praktik yang paling tepat dalam konteks perubahan iklim [10]. Diagnosis lateks merupakan langkah yang praktis dalam memonitor status fisiologis dari klon-klon karet dan menentukan tipologi metabolisme lateks dari tiap klon tersebut sehingga dapat digunakan untuk menyesuaikan sistem penyadapan karet agar terhindar dari kejadian KAS. Penerapan perkebunan karet dengan sistem multiklonal yang terdiri dari klon-klon dengan tipologi lateks dan sistem penyadapan yang relatif sama dapat menjadi salah satu cara untuk mempertahankan keragaman genetik serta untuk mengembangkan sifat toleransi terhadap stres biotik serta abiotik. Dengan demikian, penelitian yang bertujuan untuk menguji klon-klon modern dalam rangka mengurangi resiko suseptibilitas dari praktik perkebunan monoklonal terhadap perubahan iklim sepertinya patut dipertimbangkan untuk masa yang akan datang.

 

Referensi

1. de Souza LM, Le Guen V, Cerqueira-Silva CBM, Silva CC, Mantello CC, et al. (2015) Genetic Diversity Strategy for the Management and Use of Rubber Genetic Resources: More than 1,000 Wild and Cultivated Accessions in a 100-Genotype Core Collection. PLoS ONE 10: e0134607.

2. Jiang G-L (2013) Molecular Markers and Marker-Assisted Breeding in Plants.

3. Souza LM, Gazaffi R, Mantello CC, Silva CC, Garcia D, et al. (2013) QTL mapping of growth-related traits in a full-sib family of rubber tree (Hevea brasiliensis) evaluated in a sub-tropical climate. PLoS ONE 8: e61238.

4. Rattanawong R (2012) QTL mapping in Hevea brasiliensis for analysing the genetic determinism of growth, latex production, and the macromolecular structure of natural rubber [Thesis]. Bangkok, Thaïlande: Kasetsart University. 220 p.

5. Li D, Wang X, Deng Z, Liu H, Yang H, et al. (2016) Transcriptome analyses reveal molecular mechanism underlying tapping panel dryness of rubber tree (Hevea brasiliensis). Scientific Reports 6: 23540.

6. Putranto R-A, Herlinawati E, Rio M, Leclercq J, Piyatrakul P, et al. (2015) Involvement of Ethylene in the Latex Metabolism and Tapping Panel Dryness of Hevea brasiliensis. International Journal of Molecular Sciences 16: 17885.

7. Liu JP, Xia ZQ, Tian XY, Li YJ (2015) Transcriptome sequencing and analysis of rubber tree (Hevea brasiliensis Muell.) to discover putative genes associated with tapping panel dryness (TPD). BMC Genomics 16: 398.

8. Omokhafe K, Aniamaka E (2000) Heritability estimates of tree dryness and correlation with latex parameters in Hevea brasiliensis. Journal of the Rubber Research Institute of Sri Lanka 83: 17-22

9. Chaendaekattu N, Mydin KK (2014) Inheritance of tapping panel dryness in full-sib population of Hevea brasiliensis. Rubber Science 27 78-83.

10. Montoro P, Tang C, Saha T, Annamalainathan K, Ismawanto S, et al. Contribution of molecular biology and physiology to climate-smart natural rubber production. In: Le Quang K, editor; 2015 2015-11-02 / 2015-11-03; Ho Chi Minh City, Viet Nam. Agricultural Publishing House. pp. 101-107.

unduh file pdf

Share di Facebook