PPKS Unit Bogor

Limbah Selongsong Black Soldier Fly dan Potensinya sebagai Bahan Baku Produksi Kitin dan Kitosan

Usaha peternakan maggot atau Black Soldier Fly (BSF) menjadi tren yang banyak bermunculan di Indonesia belakangan ini, karena potensi yang menjanjikan sebagai sumber pakan kaya protein. Dalam proses budidayanya terdapat peluang baru untuk memanfaatkan sampah sisa selongsong dari kulit maggot yang dihasilkan pada saat metamorfosis belatung menjadi lalat. Limbah selongsong BSF mengandung kadar kitin dengan Cristalinity Index yang rendah sehingga memiliki potensi untuk dijadikan materi biopolimer baru.

Black Soldier Fly (BSF) merupakan spesies lalat dari ordo Diptera, familia Stratiomyidae dengan genus Hermetia. Larva BSF memiliki beberapa karakter, diantaranya dapat mereduksi sampah organik, dapat hidup dalam toleransi pH yang cukup tinggi, tidak membawa gen penyakit, mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi, masa hidup sebagai larva cukup lama (±4 minggu), dan mudah dibudidayakan. Kemampuan larva BSF yang toleran terhadap kondisi lingkungan ekstrim ini membuat penerapan reduksi sampah organik dengan larva BSF menjadi lebih potensial dibandingkan dengan organisme lain [1].

Di Indonesia, Budidaya BSF semakin berkembang pesat belakangan ini. Hal tersebut disebabkan karena fase belatung dari BSF diketahui memiliki kadar protein yang tinggi (mencapai 40%) sehingga banyak dibudidayakan sebagai sumber protein alternatif. Dalam budidaya BSF, dihasilkan limbah berupa selongsong kulit sekitar 2/5 dari total produksi atau sekitar 400 kg/hari yang mana belum banyak dimanfaatkan. Selongsong ini dihasilkan pada saat pupa berganti kulit ke tahap instar berikutnya. Hingga saat ini, limbah selongsong BSF belum dimanfaatkan secara optimal [2].

Limbah Selongsong BSF berpotensi menjadi bahan baku alternatif dalam produksi kitin dan kitosan. Wasko et al. [3] melaporkan bahwa kitin yang diekstrak dari BSF mempunyai sifat fisikokimia yang berbeda dibandingkan dengan kitin lain yang pernah ditemukan sebelumnya. Kitin yang diekstrak dari BSF memiliki Crystallinity Indexes yang rendah, yaitu sebesar 24,9% untuk lalat dewasa dan 35% untuk larva. Sifat kitin ini sangat cocok dimanfaatkan sebagai agensia biosorption karena kitin dengan indeks CrI yg rendah memiliki sorptive capacity yang tinggi.

Dalam proses produksi kitosan, terdapat 3 tahapan yang meliputi proses demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Proses deasetilasi merupakan proses terpenting dari dua proses lainnya karena sangat menentukan kualitas kitosan yang dihasilkan. Faktor-faktor utama yang menentukan keberhasilan proses deasetilasi adalah suhu dan waktu ekstraksi [4]. Wahyuni et al. [2] melaporkan bahwa kitosan dapat diekstrak dari limbah selongsong BSF dengan rendemen sebesar 3,11%. Melalui optimasi suhu dan waktu ekstraksi, diperoleh kitosan dengan derajat deasetilasi sebesar 75,98% dan kelarutan sebesar 87,95%. Dengan demikian limbah selongsong BSF berpotensi menjadi sumber biopolimer kitin dan kitosan baru yang menarik untuk diteliti dan digunakan dalam berbagai aplikasi biokimia, khususnya biosorption.

Referensi

[1]. Yuwono AS, Mentari PD. (2018). Penggunaan Larva (Maggot) Black Soldier Fly (BSF) Dalam Pengolahan Limbah Organik. Bogor (ID): Seameo Biotrop.
[2]. Wahyuni S, R Selvina, R Fauziyah, HT Prakoso, Priyono dan Siswanto. (2020). Optimasi suhu dan waktu deasetilasi kitin berbasis selongsong maggot (Hermetia Illucens) menjadi kitosan. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 25(3): 375-383.
[3]. Wasko A, Bulak P, Berecka MP, Nowak K, Polakowski C, Bieganowski A. (2016). The first report of the physicochemical structure of chitin isolated from Hermetia illucens. International Journal of Biological Macromolecules. 92(2016): 316-320.
[4]. Siregar EC, Suryati, Hakim L. 2016. Pengaruh suhu dan waktu reaksi pada pembuatan kitosan dari tulang sotong (Sepia officinalis). Jurnal Teknologi Kimia Unimal. 5(2): 37-74.