PPKS Unit Bogor

Edible vaccine : cara baru vaksinasi dengan nyaman tanpa nyeri

Sejak vaksin diperkenalkan Edward Jenner pada tahun 1796, vaksinasi dilakukan untuk melindungi manusia dan hewan terhadap infeksi virus. Sayangnya pemberian vaksin melalui suntikan seringkali membuat penggunanya enggan untuk melakukannya. Edible vaccine menjadi alternatif vaksinasi yang menjanjikan di masa depan. Prinsip dari teknologi ini adalah menyisipkan vaksin ke dalam tanaman pangan, sehingga ketika dimakan akan merangsang tubuh manusia untuk membentuk kekebalan (menghasilkan antibodi) terhadap suatu penyakit. Tanaman pangan yang dipilih untuk membuat edible vaccine adalah tanaman yang dapat dikonsumsi dalam keadaan mentah, seperti kentang, tomat, dan pisang.

Harga vaksin yang mahal, menurunnya efektifitas vaksin akibat distribusi yang tidak baik, serta cara penyimpanan yang tidak tepat menjadi permasalahan dalam proses produksi vaksin. Keadaan ini mempengaruhi ketersediaan vaksin terutama di negara-negara miskin, dimana infeksi penyakit cukup tinggi sehingga memicu tingginya angka kematian. Tantangan tersebut memacu para peneliti untuk menemukan terobosan baru dalam teknologi pembuatan dan cara pemberian vaksin. Bentuk vaksin yang diminati adalah vaksin yang dapat dikonsumsi tanpa harus menyuntikkannya atau tanpa harus disimpan di ruang pendingin sehingga memudahkan pendistribusiannya [1].

Pada tahun 1998, para peneliti Universitas Maryland di Baltimore berhasil melakukan penelitian terobosan dalam produksi vaksin. Peneliti berhasil menyisipkan vaksin ke dalam tanaman pangan yang kemudian dikenal dengan nama edible vaccine. Vaksin dari toksin E. coli disisipkan ke dalam tanaman kentang. Kentang transgenik tersebut dikonsumsi oleh 11 orang dewasa dengan kondisi sehat kemudian dilakukan pemeriksaan. Dari sampel darah yang diperiksa, 10 dari 11 orang tersebut mengalami peningkatan kadar antibodi, diantaranya menunjukkan peningkatan pada usus. Keberhasilan ini menunjukkan efektifitas penggunaan edible vaccine dalam meningkatkan kekebalan tubuh akibat paparan penyakit. Edible vaccine pertama kali dilaporkan dan dipatenkan secara internasional pada tahun 1990 [2].

Edible vaccine adalah tanaman yang direkayasa secara genetik untuk memproduksi vaksin. Tanaman ini disisipi gen yang memproduksi protein sebagai epitop suatu penyakit yang bila masuk ke dalam tubuh kita dapat berfungsi sebagai vaksin. Dengan model ini tanaman berfungsi sebagai bioreaktor atau pabrik yang memproduksi vaksin berupa buah atau sayur yang dapat dikonsumsi langsung [3]. Vaksin ini lebih mudah dibuat dan efisien dalam hal penyimpanan dan pendistribusiannya sehingga harga bisa lebih murah. Tanaman yang digunakan umumnya tanaman yang dapat dimakan langsung seperti pisang, kentang dan tomat. Hal tersebut juga sudah mulai dikembangkan untuk tanaman pangan seperti padi, gandum dan jagung [4]. Prinsip dari teknologi ini adalah menyisipkan vaksin ke dalam tanaman pangan, sehingga ketika dimakan akan merangsang tubuh manusia untuk menghasilkan antibodi terhadap suatu penyakit [5]

Berbagai perkembangan bioteknologi yang pesat seperti teknik kultur in vitro, biologi sel molekular, rekayasa genetika dan mikrobiologi mempercepat pembuatan vaksin jenis ini. Hingga saat ini, edible vaccine sudah dikembangkan untuk berbagai macam penyakit seperti campak, kolera dan hepatitis B serta penyakit autoimun seperti diabetes tipe-1, diare, multiple sclerosis dan radang sendi [6].

Bagaimana cara membuat edible vaccine? Edible vaccine dibuat dengan menggunakan bakteri Agrobacterium tumefaciens sebagai penginjeksi cetak biru genetik dari virus atau antigen bakteri berupa protein yang memiliki respon kekebalan yang ditargetkan. Proses singkat pembuatan edible vaccine diawali dengan (a) menumbuhkan sel tanaman (kalus) dengan bakteri A. tumefaciens yang membawa gen antigen dan gen resisten antibiotik sehingga terjadi transfer gen ke dalam sel tanaman, (b) memindahkan sel tanaman ke media seleksi antibiotik sehingga diperoleh sel yang dapat hidup (terindikasi sudah masuknya gen baru) lalu ditumbuhkan hingga menjadi planlet, (c) aklimatisasi planlet sehingga menjadi bibit dan kemudian ditanam hingga menghasilkan buah yang mengandung vaksin [7].

Di Indonesia, beberapa penelitian terkait vaksin ini sudah mulai dilakukan. Universitas Airlangga yang diwakili oleh Chairul Anwar Nidom (Ketua Avian Influenza – Zoonosis Research Center) menggandeng PT Riset Perkebunan Nusantara (PT RPN) untuk mengembangkan varian vaksin flu burung (H5N1) melalui buah pisang dengan teknik reverse genetic. Penelitian diawali melalui embriogenesis somatik untuk membuat sel-sel kalus tanaman pisang sebagai bahan untuk tahap selanjutnya. RNA virus flu burung kemudian disintesis menjadi cDNA serta direkombinasikan dengan DNA pisang secara in vitro. Harapannya buah pisang yang akan dihasilkan mengandung antigen vaksin flu burung yang kompatibel untuk manusia [8].

Inovasi bioteknologi dalam pembuatan edible vaccine menjadi solusi yang tepat untuk mempermudah akses mendapatkan vaksin. Pada masa yang akan datang, hal tersebut diharapkan mempermudah dan memberikan rasa nyaman (tanpa rasa takut dan tangis) pada proses vaksinasi suatu penyakit terutama untuk anak-anak.

 

Referensi

1. Radji M (2004) Pemberian vaksin melalui tanaman transgenik. Majalah Ilmu Kefarmasian. Depok, Indonesia: Universitas Indonesia. pp. 1-9.

2. Tacket CO HM, G Losonsky, JD Clements, SS Wasserman, MM Levine and CJ Arntzen (1998) Immunogenicity in humans of a recombinant bacterial-antigen delivered in transgenic potato. Nat Med (Vaccine supplement) 4: 607-609.

3. Santoso P (2011) Mengenal edible vaccine : pemanfaatan produk hortikultura untuk media vaksin. In: Agriculture Mo, editor. Solok, Sumatera Barat: Iptek Hortikultura. pp. 24-27.

4. Arntzen CJ (1998) Pharmaceutical foodstuff-oral immunization with transgenic plants. Nat Med (Vaccine supplement) 4: 502-503.

5. Shah CP, Manisha N. Trivedi, Urmila D. Vachhani, Vishwash J. Joshi (2011) Edible Vaccine: A better way for immunization. International Journal of Current Pharmaceutical Research 3: 53-56.

6. Mishra N, Prem N Gupta,  Kapil Katri, Amit K Goyal and Suresh P Vyas (2008) Edible vaccine : A new approach to oral immunization. Indian Journal of Biotechnology 7: 283-294.

7. Langridge W (2000) Edible Vaccine. Scientific American. USA. pp. 66-71.

8. Nidom CA (2015) Peran biologi molekular dalam antisipasi bioterorisme dan penyiapan vaksin biodefens menuju kemandirian bidang kesehatan dan ketahanan bangsa indonesia. Universitas Airlangga. 1-33 p.

unduh file pdf

Share di Facebook