PPKS Unit Bogor

Belajar dari Paten Kuno Tentang Bioetanol dari Lignoselulosa: “Process of Making Ethyl Alcohol from Wood”

Usaha-usaha untuk membuat bioetanol dari biomassa lignoselulosa sudah dilakukan sejak lama. Teknologi bioetanol dari kayu paling kuno telah dipatenkan oleh HK Moore pada tanggal 2 Desember 1919 dengan nomor 1,323,540. Paten ini menarik untuk dikaji, khususnya untuk pengembangan teknologi bioetanol generasi kedua saat ini. Mengkaji paten kuno ini dapat memberikan inspirasi untuk mengembangkan bioetanol generasi kedua yang lebih efisien. Semoga.

 

Paten yang diajukan HK Moore berjudul: Process of Making Ethyl Alcohol from Wood. Peten ini sudah berumur 94 tahun. Perlindungan patennya sudah kadaluwarsa dan temuannya sudah menjadi “public domain”. Penggunaan invensi-invensi dalam paten ini tidak melangar hukum dan tidak dikenakan biaya lisensi.


Catatan: Di dalam dokumen paten ini banyak disebutkan istilah teknik lama yang kurang dimengerti. Moore juga banyak menjelaskan detail teknis pabrikasi. Tulisan ini tidak akan menguraikan secara detail proses pabrikasi tersebut. Tulisan ini hanya akan menguraikan tahapan-tahapan pokok proses pembuatan bioetanol yang disebutkan oleh HK Moore.


Istilah bioetanol belum dikenal pada saat itu. HK Moore menyebutnya dengan istilah “ethyl alcohol from wood” atau etil alkohol dari kayu. Di dalam tulisan ini istilah ‘ethyl alcohol’disebutkan dengan bioetanol. Maksud kedua istilah ini adalah sama.

HK Moore hanya menyebutkan tiga tahapan pokok dalam proses pembuatan bioetanol dari kayu. Namun, jika dicermati secara seksama terdapat empat tahapan dalam proses pembuatan bioetanol dari kayu. Tahapan tersebut adalah tahapan pretreatment yang disebutkan secara implisit dalam dokumen paten itu. Tahapan-tahapan tersebut adalah: pretreatment, hidrolisis, fermentasi, dan distilasi.

Di dalam gambar di bawah terdapat dua macam peralatan utama, yaitu: hidroliser dan tangki fermentasi, masing-masing dua buah. Peralatan-peralatan tersebut dihubungkan dengan pipa, pompa, dan filter untuk mengalirkan cairan. Diantara kedua pelaratan ini diletakkan ‘heat exchanger’ untuk menurunkan panas hidrolisat sebelum difermentasi.

A. PRETREATMENT

Tahapan pretreatment tidak disebutkan secara eksplisit di dalam dokumen paten. Tahapan ini merupakan salah satu tahapan penting dalam proses pembuatan bioetanol saat ini. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk menghilangkan getah, ‘pitch’, dan resin. Bahan-bahan tersebut saat ini dikenal dengan istilah ekstraktif. Ekstraktif bisa mengganggu proses hidrolisis holoselulosa, baik yang menggunakan metode kimia maupun enzimatis. Ekstraktif dihilangkan sebelum proses hidrolisis biomassa lignoselulosa.

Gambar diagram proses produksi bioetanol dari kayu yang digambar oleh HK Moore.

Bahan baku yang terdiri dari potongan kayu, serpihan-serpihan atau bahan-bahan berkayu lainnya dimasukkan ke dalam tanki hidroliser. Moore tidak menyebutkan berapa ukuran potongan kayu yang akan dihidrolisis. Ukuran ini penting, karena semakin kecil potongan kayu akan semakin luas permukaannya, sehingga hidrolisis berjalan lebih efisien. Diduga ukuran serpihan kayu tersebut mirip dengan ukuran ‘chip’ kayu dalam proses pembuatan pulp. Selanjutnya di dalam tanki itu dimasukkan uap panas. Moore tidak menyebutkan berapa suhu uap dan berapa lama proses ini dilakukan.

B. HIDROLISIS

Hidrolisis dilakukan dalam dua tahap. Metode ini mirip dengan teknik hidrolisis dua tahap (two stage hydrolysis) yang banyak dikembangkan saat ini untuk pembuatan bioetanol dari lignoselulosa. Teknik hidrolisis dua tahap dikembangkan untuk lebih mengefisienkan perolehan gula hasil hidrolisis kayu.

Hidrolisis tahap pertama. Garam monokalsium tetrahidrogen superfosfat (menghasilkan asam fosfat) sebanyak 3/10 dari 1% (w/w) (catatan: tertulis seperti itu dalam dokumen paten) dimasukkan ke dalam tanki hidroliser. Perbandingan antara larutan dengan bahan adalah 5:1 atau sekitar 80% larutan : 20% bahan. Moore mengatakan bahwa perbandingan ini tidak penting, namun yang penting adalaah larutan asam bisa membasahi seluruh kayu dengan cara pengadukan. Kemudian dimasukkan uap panas (steam) untuk meningkatkan suhu menjadi 300oF (148oC) selama 1 jam. Selama proses hidrolisis ini dilakukan pengadukan. Tidak disebutkan bagaimana proses pengadukan yang dilakukan. Saya menduga proses pengadukan dilakukan dengan cara memutar tangki hidroliser. Selanjutnya larutan hasil hidrolisis (hidrolisat) dialirkan ke tangki fermentasi. Moore menyebutkan bahwa pada hidrolisis pertama dapat dihidrolisis bahan sebanyak 22%-25% dari bobot kering bahan.

 

Sisa-sisa bahan yang belum terhidrolisis selanjutnya akan dihidrolisis kembali pada tahap hidrolisis kedua. Konsentrasi larutan asam yang digunakan adalah 1% dengan suhunya 390oF atau 200oC selama 1 jam. Moore menyebutkan bahwa pada hidrolisis tahap ke dua ini dapat dihidrolisis sebesar 15%-12% dari bobot kering bahan. Moore juga menyebutkan bahwa hasil hidrolisis tahap kedua dapat ditingkatkan dengan memberikan agen pengoksidasi (CaOCl2) pada sisa bahan dari hidrolisis pertama. Bahan tersebut dilakukan pencucian sebelum dihidrolisis lagi.

Dari data yang disebutkan oleh HK Moore, hidrolisis maksimum yang dihasilkan adalah kurang lebin 36,25% dari bahan yang dihidrolisis. Nilai ini kurang lebih sama dengan nilai rata-rata kandungan selulosa di dalam kayu. Dengan kata lain efisiensi hidrolisis selulosanya mendekati 100%. Hasil ini sangat tinggi sekali dan jarang ditemukan dalam laporan-laporan penelitian bioetanol lignoselulosa saat ini.

C. FERMENTASI

 

Tahapan berikutnya adalah fermentasi. Hidrolisat dari tangki hidroliser dialirkan ke tangki fermentor. Suhu hidrolisat diturunkan dengan ‘heat exchanger’ hingga suhu yang optimum untuk fermentasi, yaitu 54-70oF (12.2-21oC). Beberapa nutrisi tambahan untuk yeast, yaitu: malt, barley sprout, dan beberapa bahan lainnya, ditambahkan ke dalam fermentor. Moore tidak menyebutkan jumlah dan komposisi nutrisi tersebut. Yeast (Saccharomyces cereviseae) kemudian diinokulasi ke dalam fermentor. Apabila yeast tidak tumbuh, Moore menambahkan sedikit larutan gula untuk menstimulasi pertumbuhan yeast. Fermentasi dilakukan dalam waktu 72 jam atau tiga hari. Selama proses fermentasi suhu dipertahankan tetap rendah untuk mengurangi pembentukan asam asetat atau produk fermentasi selain etanol.

E. DISTILASI

Larutan hasil fermentasi (fermentat) dialirkan ke kolom distilator untuk memurnikan bioetanol. HK Moore tidak menjelaskan bagaimana metode distilasi dan bagaimana metode menghilangkan sisa air dalam etanol. Tetapi disebutkan di dalam dokumen itu bahwa etanol yang dihasilkan adalah etanol kering (anhydrous). Bioetanol yang dihasilkan ini adalah bioetanol bahan bakar (FGE: fuel grade ethanol).

caTATAN TAMBAHAN

 

Invensi dalam paten ini sangat menarik sekali. Moore telah berhasil menghidrolisis kurang lebih 36% dari total berat kering biomassa. Atau mendekati 100% kandungan selulosa di dalam kayu. Jika dihitung lebih lanjut kadar gula di dalam hidrolisat kurang lebih sebesar 8%. Kadar gula ini cukup tinggi dan jarang dilaporkan dalam jurnal-jurnal bioetanol saat ini. Konsentrasi gula ini bisa lebih ditingkatkan dengan cara evaporasi sederhana.

Moore tidak menyebutkan secara detail tahapan pretreatment. Tahapan penting ini kemungkinan disembunyikan oleh Moore. Saat ini diketahui bahwa pretreatment sangat penting untuk mendapatkan hasil hidrolisis lignoselulosa yang tinggi.

Hidrolisis yang dilakukan oleh Moore adalah hidrolisis kimiawi dengan menggunakan asam fosfat. Hidrolisat hasil hidrolisis memiliki pH yang rendah dan mengandung sisa-sisa asam. Moore tidak menyebutkan proses netralisasi hidrolisat sebelum proses fermentasi. Sama seperti tahapan sebelumnya, kemungkinan Moore menyembunyikan tahapan ini.

Moore menggunakan yeast (S. cereviseae) yang hanya bisa memfermentasi gula C6 (heksosa), sedangkan gula C5 (pentose) tidak terfermentasi oleh yeast. Kandungan gula C5 cukup banyak hasil dari hidrolisis hemiselulosa. Hidrolisis gula C5 dengan mikroba yang sesuai akan dapat meningkatkan hasil fermentasi hidrolisat kayu tersebut.

 

Dokumen paten ini tidak menyebutkan berapa konsentrasi etanol setelah fermentasi, dan berapa banyak etanol murni yang bisa diperoleh dari hasil distilasi. Data-data ini penting untuk menghitung efisiensi produksi bioetanol dari kayu dengan metode Moore ini. Jika dihitung dari konsentrasi gula hasil fermentasi, kemungkinan bioetanol yang dihasilkan dalam fermentat masih di bawah 5%. Efisiensi distilasinya juga tidak disebutkan. Diperkirakan hasil fermentasi kurang lebih 38.6 gr atau 44.4 ml bioetanol/liter fermentat. Jika dugaan ini benar, maka dari setiap 1 kg kayu dapat dihasilkan kurang dari 193 gr atau sekitar 222 ml bioetanol murni (fuel grade ethanol) atau rendemennya 19.3% berat atau 22.2% volume. Hasil ini sangat tinggi sekali dan sangat potensial untuk produksi bioetanol dari biomassa lignoselulosa.

unduh file pdf